Suar.ID - Permintaan Terapi Plasma Konvalesen (TPK) ini kini sedang meningkat.
Terlebih di tengah melonjaknya kasus Covid-19 seperti sekarang ini.
Ahli Terapi Plasma Konvaselen (TPK) yang bernama Dr dr Theresia Monica Rahardjo SpAn KIC MSi mengungkapkan kalau banyak informasi soal TPK yang beredar ini sering kali misinformasi.
Padahal keberhasilan terapi tambahan Covid-19 ini dipengaruhi 3 faktor.
Mulai dari dosis, kadar antibodi dan pemberian plasma di waktu yang tepat.
Dilansir Tribunnews.com, hal ini disampaikan dr Monica dalam perbincangannya bersama Tribun Network pada Jumat (16/7).
"Sering salah juga, salah pemahaman di masyarakat kita, teman sejawat dokter misalnya kalau sudah kritis baru dikasih plasma, ya enggak begitu," ujarnya.
Ia pun memaparkan kalau terapi plasma konvalesen atau TPK ini merupakan teknik memindahkan antibodi dari dalam plasma penyitas Covid-19 pada pasien Covid-19 yang masih sakit.
Intinya yaitu booster antibodi atau antibodi instan yang dimasukan ke dalam tubuh pasien yang sakit.
Sehingga pasien ini memiliki antibodi tambahan untuk membasmi virus.
Diharapkan melalui terapi sederhana, spesifik, terjangkau, setra memiliki banyak sumber daya manusia ini, seorang pasien bergejala sedang hingga kritis dapat tertolong.
Lalu hal-hal apa sajakah yang perlu diperhatikan dalam proses pemberian terapi ini?
Dosis yang diberikan
dr Monica pun menjelaskan kalau pemberian dosis plasma ini sangat tergantung pada kondisi penerima TPK.
Semakin seorang pasien Covid-19 ini bergejala, maka makk banyak pula plasma yang dibutuhkan.
"Kalau misalnya stadium sedang umumnya dikasih 2 atau 3 kantong, kalau ada komorbid stadium berat itu sudah bisa 3-4 kantong, dan kalau stadium kritis bisa 5-6 ini," jelas dr Monica.
Kadar antibodi pendonor
Salah satu syarat untuk menjadi pendonor plasma ini adalah penyitas Covid-19 dengan gejala sedang hingga berat.
Makin berat gejala yang dialami oleh penyitas maka diharapkan pula kadar antibodi yang terbentuk ini juga makin banyak.
Selanjutnya, pendonor pun diutamakan pria atu wanita yang single belum pernah hamil, melahirkan ataupun keguguran.
"Karena skrining awal pendonor adalah memiliki antibodi atau tidak," ujarnya.
Kemudian, disampaikan dr Monica meski belum ada penelitian lebih lanjut terkait kadar antibodi spesifik yang terbentuk dari seorang penyitas.
PMI pun membatasi hanya pendonor bergejala sedang sampai kritis yang diterima.
"Dan waktunya 3-4 bulan, karena antibodi dalam kadar maksimal stabil selama 3-4 bulan," ungkapnya.
Waktu pemberian plasma
Selanjutnya, dr Monica ini juga menjelaskan kalau masyarakat ini sering kali salah kaprah terkait waktu pemberian plasma.
Kebanyakan saat pasien mulai kritis barulah mencari.
Padahal terapi ini sangat dianjurkan diberikan di awal pengobatan.
"Terapi plasma konvalesen atau TPK itu diberikan terutama pada pasien stadium Covid-19 Sedang.
"Pedomannya seperti apa? Kalau nafasnya sudah mulai sesak, susah idungnya mampet napas nggak enak itu udah lebih dari 20 kali per menit itu udah merupakan salah satu indikasi mendapatkan plasma," ujarnya.
Kemudian, suhu tubuh tinggi yang tak kunjung turun seta pasien memiliki komorbid kencing manis, darah tinggi ataupun obesitas.
"Lebih baik dini, kapan? satu minggu pertama kalau demam, paling telat 3 hari sejak nafas, saat merasa tidak enak atau sesak," kata dia.
Ia juga mengungkapkan saat pasien kritis baru diberikan plasma ini maka organ vital seperti paru-paru, jantung, dan lainnya telah rusak karena Covid-19.
"Karena prinsipnya antibodi dari plasma ini untuk membasmi virusnya bukan memperbaiki organ yang rusak.
"Jadi kalau dikasih saat kritis ya virusnya hilang oleh antibodi di dalam plasma tapi organ yang rusak akan bisa kembali," terangnya.
Baca Juga: Model Seksi Ini Akhirnya Jujur Soal Hubungan Badan di Penjara dengan Gembong Narkoba: Aku Cerita ya