Profesor Catherine Thornton dari Swansea University, Wales, Inggris menjelaskan, agar antibodi salah mengenali syncytin-1 sebagai SARS-CoV-2, harus ada kemiripan asam amino yang cukup dalam string ini (yang sebenarnya tidak ada).
"Asam amino kritis akan perlu dikelompokkan bersama dalam molekul 3D dengan cara yang cukup mirip dan dapat diakses, padahal sebenarnya tidak," kata Profesor Thornton.
Berbagai studi telah menunjukkan, antibodi terhadap protein spike SARS-CoV-2 tidak menyerang plasenta.
Pasalnya, telah ditemukan antibodi SARS-CoV-2 pada bayi yang baru lahir.
Antibodi ini telah melewati plasenta dari ibunya ketika mereka terinfeksi selama masa kehamilan.
Lalu, apakah teknologi vaksin RNA generasi mendatang akan memperhatikan kesuburan?
Alih-alih menggunakan protein spike itu sendiri untuk membuat respons imun, vaksin generasi berikutnya ini justru menggunakan sepotong kode genetik, RNA.
RNA digunakan oleh sel-sel dalam tubuh manusia.
Pada kenyataannya, RNA sangat penting untuk semua bentuk kehidupan yang ada di dunia.