Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Mengutamakan Kesejahteraan para Karyawan TVRI dan Banyak Menghadirkan Program Bernuansa Milenial, Terungkap Inilah 3 Alasan Mengapa Helmy Yahya Dipecat oleh Dewan Pengawas

Ervananto Ekadilla - Rabu, 22 Januari 2020 | 21:00
Mengutamakan Kesejahteraan para Karyawan TVRI dan Banyak Menghadirkan Program Bernuansa Milenial, Terungkap Inilah 3 Alasan Mengapa Helmy Yahya Dipecat oleh Dewan Pengawas
ANTARA

Suar.ID -Dewan Pengawas (Dewas) TVRI memberhentikan Helmy Yahya sebagai Direktur Utama pada 16 Januari 2020.

Surat keputusan (SK) pemecatan Helmy Yahya merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2005 tentang LPP TVRI.

Berdasarkan PP tersebut, Ketua Dewas TVRI, Arif Hidayat Thamrin menyatakan bahwa Dewas memiliki hak untuk mengangkat dan memberhentikan Dewan Direksi.

"Dewas punya kewenangan. Sudah dilalui dengan sesuai peraturan," kata Arif dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, mengutip dari Kompas.com, Selasa (21/1/2020).

Terdapatsejumlah alasan Dewas TVRI memecat Helmy Yahya sebagai Direktur Utama.

Baca Juga: Pantasan Ruang Dewan Pengawas TVRI Disegel oleh Para Karyawannya, Rupanya Helmy Yahya sudah Persiapkan Hadiah Spesial Ini Untuk Mereka Februari Nanti!

Berdasarkan catatan yang telah dikumpulkan oleh Kompas.com, berikut alasan-alasan Dewas TVRI yang disampaikan dalam rapat bersama Komisi I DPR:

1. Helmy Membeli Hak Siar Liga Inggris yang Menimbulkan Utang

Kompas.com

Anggota Dewas TVRI, Pamungkas Trishadiatmoko dalam rapat dengan Komisi I DPR menyatakan, hak siar penayangan Liga Inggris yang dibeli Helmy Yahya menimbulkan risiko gagal bayar atau utang.

Ia bahkan menyatakan, risiko utang tersebut mirip krisis keuangan di PT. Asuransi Jiwasraya.

"Saya akan sampaikan kenapa Liga Inggris itu menjadi salah satu pemicu gagal bayar ataupun munculnya utang skala kecil seperti Jiwasraya," kata Moko.

Ia menyampaikan, Helmy sempat mengatakan bahwa program Liga Inggris ditayangkan tanpa biaya.

Nyatanya, penayangan Liga Inggris berbiaya senilai Rp 126 miliar untuk kontrak tiga sesi, yaitu selama 2019-2022.

Berdasarkan invoice yang diterima Dewas TVRI dari Global Media Visual (GMV), ada kewajiban bayar pada 31 Oktober 2019 senilai Rp 27 miliar.

Kemudian, pada Maret dan September 2020, masing-masing senilai Rp 21 miliar.

Dengan demikian, total kewajiban bayar utang pada 2019 dan 2020 senilai Rp 69 miliar.

"Total sekitar Rp 69 miliar yang sebagian belum termasuk pajak," ujar Moko.

Selain itu, kata dia, tidak pernah ada permintaan persetujuan kepada Dewas TVRI untuk menyiarkan Liga Inggris.

"Tidak ada permintaan persetujuan resmi tertulis ke Dewas," kata dia.

Baca Juga: Awalnya Tidak ada yang Menyangka, Kini Terungkap 5 Penyebab Helmy Yahya Dicopot dari Jabatannya sebagai Dirut TVRI, Salah Satunya tidak dapat Mengelola Anggaran

2. Kinerja Helmy dianggap tak Sesuai Visi dan Misi TVRI

Warta Kota

Ketua Dewan Pengawas TVRI Arif Hidayat Thamrin mengatakan, sejak Helmy menjabat, TVRI terkesan terlalu mengejar share dan rating.

Padahal, kata dia, TVRI merupakan televisi publik sehingga berbeda dari televisi swasta.

"Seolah-olah Direksi TVRI mengejar rating dan share seperti televisi swasta. Kami ada APBN, harus bayar dalam bentuk membayar ke luar negeri," ujar Arif.

Ia mengatakan, demi mengejar rating itu, akhirnya Dewan Direksi membeli sejumlah siaran asing, di antaranya Liga Inggris dan Discovery Channel.

Padahal, kata Arif, TVRI telah disarankan untuk lebih banyak menayangkan program edukasi dan program-program lain yang sesuai dengan nilai-nilai yang tertanam dalam kebudayaan Indonesia.

"Tupoksi TVRI sesuai visi-misi TVRI adalah televisi publik. Kami bukan swasta, jadi yang paling utama adalah edukasi, jati diri, media pemersatu bangsa. Prioritas programnya juga seperti itu," kata dia.

Baca Juga: Tak Ada Angin Tak Ada Hujan, Dirut TVRI Tiba-tiba Dinonaktifkan, Helmy Yahya: Saya Tetap Dirut TVRI secara Sah!

3. Rebranding TVRI Dianggap tidak Sesuai Rencana Kerja

Kompas.com

Anggota Dewas TVRI, Maryuni Kabul Budiono megatakan, pelaksanaan rebranding TVRI memang telah menjadi program kerja yang ditetapkan.

Namun, dalam pelaksanaannya disebut tidak sesuai dengan rencana kerja.

"Terdapat ketidaksesuaian rebranding TVRI dengan rencana kerja dengan RKAT 2019," kata Budiono.

Ia menyatakan, program kerja rebranding dilakukan dalam dua tahap.

Pertama, pada 2018, rebranding TVRI berjalan sesuai rencana.

Rebranding pada tahap pertama adalah pembuatan logo baru dan aplikasi TVRI.

"Pada 2018, dengan nilai kontrak lebih drari Rp 970 juta oleh konsultan brand yang memang melakukannya sesuai dengan yang diatur," ucap dia.

Namun, pada 2019, program implementasi dari hasil rebranding itu tidak masuk dalam mata anggaran.

Budiono menyatakan, biaya implementasi rebranding sebesar Rp 8,2 miliar diambil salah satunya dari anggaran program dan berita.

"Pada 2019, ada proses implementasi dan aplikasi rebranding dengan menggunakan anggaran yang sudah ada. Jadi, itu dari anggaran program dan berita, Direktorat Pengembang Nusa, dan Direktorat Umum," ujar Budiono.

"Yang paling banyak diambil dari program dan berita senilai Rp 6,2 miliar," lanjutnya.

Anggaran program dan berita itu sebagian merupakan honor satuan kerabat kerja (SKK).

Akhirnya, kata Budiono, anggaran tak cukup untuk membayarkan honor SKK.

Selain itu, Budiono mengatakan, pelaksanaan program dan berita juga jadi bermasalah.

"Ini berdampak juga jadi berkurangnya biaya program yang jadi tidak memadai. Akhirnya menumpuk dan jadi persoalan," kata Budiono.

(Tsarina Maharani/Kompas.com)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Alasan-alasan Dewas TVRI Pecat Helmy Yahya sebagai Direktur Utama"

Source :Kompas.com

Editor : Suar

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

Popular

Hot Topic

Tag Popular

x