Intisari-online.com -Era pandemi ini, sosok yang mampu bangkit adalah para crazy rich.
Crazy rich atau orang-orang superkaya dalam kategori Ultra High Net Worth Individual memang selalu menarik untuk dibahas.
Kenapa kita harus tertarik pada mereka?
Sebab, para miliarder yang jumlahnya cuma 1 persen dari total populasi global ini punya peran sentral dalam menentukan kondisi dan kinerja pasar.
Seperti dikatakan Global Head of Reserach Knight Frank Liam Bailey, jika pemangku kebijakan dan investor memiliki wawasan yang kurang tentang perilaku mereka, berisiko menyebabkan kesalahan serius dalam membaca tren ekonomi.
"Bagaimana peruntungan kalangan miliarder berubah, di mana mereka menghabiskan waktu, apa yang mereka investasikan, dan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya, penting untuk diketahui," kata Liam.
Tidak sembarang orang bisa mengaku-ngaku sebagai miliarder atau masuk kasta UHNWI.
Mereka, dalam kategori yang ditetapkan oleh Knight Frank Global, setidaknya harus memiliki harta kekayaan minimal sejumlah 30 juta dollar AS.
Jika dikonversikan ke rupiah, miliarder elite ini mengantongi aset sekitar Rp 430 miliar, baik dalam bentuk tangible asset maupun intangible asset.
Asia diproyeksikan menunjukkan pertumbuhan UHNWI tercepat selama lima tahun ke depan dalam periode 2020-2025, dengan angka 39 persen dibandingkan pertumbuhan rata-rata global 27 persen.
Pada 2025 mendatang, Asia akan menampung 24 persen atau 161.878 orang dari total 663.483 UHNWI global, atau naik dari 17 persen pada satu dekade sebelumnya.
Crazy rich ini mendapatkan harta kekayaan umumnya dari bisnisnya sendiri alias pengusaha dengan angka 56 persen.
Sementara itu, mereka yang meraup kekayaan dari investasi sebanyak 17 persen dan profesional/karyawan yang digaji atau salaried employment sekitar 14 persen.
Di mana posisi crazy rich Indonesia?
Tentu saja, Indonesia menjadi motor pertumbuhan dan memimpin Asia dengan lonjakan UHNWI sebesar 67 persen menjadi 1.125 orang.
"Pertumbuhan Indonesia bersama India (63 persen) membuat proporsi UHNWI global di Asia meningkat menjadi 24 persen," imbuh Liam.
Baca Juga: Ditawari 30 Persen Saham Arema FC, Gilang Widya Pramana Ternyata Punya Perusahaan Besar Ini
Proyeksi UHNWI dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa faktor yang menjadi variabel penentu, baik terkait finansial maupun non-finansial, di antaranya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), angka harapan hidup, konsumsi atau belanja pemerintah, dan risiko politik.
Proyeksi yang digunakan, terutama terkait analisis mengenai kondisi Indonesia, mengungkap bahwa PDRB dan belanja pemerintah dalam lima tahun ke depan diperkirakan cenderung meningkat, masing-masing 59 persen dan 23 persen.
"Hal ini melatarbelakangi dinamika proyeksi UHNWI dari tahun sebelumnya," ujar Country Head Knight Frank Indonesia Willson Kalip menjawab Kompas.com, Rabu (4/3/2021).
Namun demikian, perlu ditekankan bahwa proyeksi tersebut diperkirakan dalam rentang lima tahun ke depan.
Untuk kondisi saat ini tidak bisa dimungkiri bahwa selain faktor-faktor yang digunakan dalam analisis, refleksi juga perlu mempertimbangkan kondisi pertumbuhan ekonomi sebagai dampak pandemi yang terkoreksi sampai sekitar minus 2,9 persen.
Potensi pertumbuhan UHNWI memang menjadi prediksi prospektif jangka panjang, tetapi realisasi tersebut perlu didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang positif.
"Termasuk perlu dukungan untuk menjaga pertumbuhan faktor-faktor yang digunakan sebagai pertimbangan proyeksi agar tetap positif," jelas William.
Dengan kata lain, proyeksi ini perlu disikapi dengan bijak dan hati-hati karena faktor yang menjadi pertimbangan (variabel penentu) perlu dijaga pertumbuhannya.
Bergulirnya vaksinasi diharapkan menjadi salah satu sinyal positif menuju dinamika pertumbuhan dan pemulihan ekonomi yang lebih baik.
Tentu saja pertumbuhan UHNWI menjadi berita prospektif, setidaknya hal ini menunjukkan potensi wealth itu masih ada dan berdampak pada optimisme.
Termasuk untuk dunia properti, karena pola belanja kalangan tajir ini umumnya menginvestasikan sekitar 25 persen hingga 28 persen dananya di sektor properti.
Willson mengungkapkan, UHNWI Indonesia dan Asia pada umumnya menyatakan bahwa sektor properti yang paling menarik adalah perkantoran, fasilitas kesehatan, dan properti untuk masa pensiun.
Diikuti dengan portofolio properti untuk investasi atau investment property yang didominasi oleh perkantoran sebesar 23 persen, dan residensial sewa atau residential private rented sector (PRS) sebesar 20 persen.
Kendati sudah memiliki rumah pertama, ada hal menarik dalam membaca karakter khas UHNWI dalam berbelanja properti sebagai rumah kedua, ketiga, dan seterusnya.
Mereka lebih memilih rumah baru dengan kelengkapan fasilitas leisure seperti taman dan kolam renang, serta akses transportasi.
Alasan mereka membeli rumah baru umumnya adalah untuk upgrading rumah utama (28 persen), rumah baru untuk liburan (21 persen), dan pindah permanen ke negara lain (19 persen).
Sedangkan lima jenis investasi di luar properti yang dianggap menarik oleh UHNWI, tertinggi adalah jam tangan, kemudian karya seni, perhiasan, anggur, dan mobil klasik.
Secara umum, hampir semua UHNWI juga sangat tertarik berinvestasi untuk pencegahan penyakit.
Mereka juga menyatakan tiga hal besar yang menjadi kekhawatiran dan memberikan dampak terhadap asetnya pada 2021 ini adalah disrupsi karena pandemi (82 persen), kebijakan pemerintah (46 persen), dan kondisi geopolitik (44 persen).
"Sementara itu, tiga hal besar yang paling menarik dan dinilai dapat memengaruhi aset mereka adalah kesempatan investasi baru di tengah pandemi (89 persen), disrupsi teknologi sebagai kesempatan baru (44 persen), dan kebijakan pemerintah (31 persen)," tuntas Willson.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini