Namun, suara dua fraksi tersebut kalah oleh tujuh fraksi lainnya yang mendukung RUU ini disahkan, yakni PDI-P, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN dan PPP.
Meski sempat terjadi interupsi dan walkout dari fraksi Demokrat, namun akhirnya RUU Cipta Kerja pun disahkan menjadi UU.
Sementara di luar ruang sidang, buruh masih menggelar aksi unjuk rasa di berbagai daerah untuk menolak pengesahan tersebut.
Tanggapan Menaker
Menanggapi serangkaian penolakan itu, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah meminta para pekerja dan buruh membaca UU Cipta Kerja terlebih dahulu secara utuh.
Ia mengklaim, banyak aspirasi pekerja yang diakomodasi pemerintah dalam UU Cipta Kerja sehingga aksi mogok nasional dinilainya tak lagi relevan.
"Pertimbangkan rencana mogok ulang itu. Baca secara utuh UU Cipta Kerja. Banyak sekali aspirasi teman-teman yang kami akomodasi," kata Ida melalui keterangan tertulis yang diunggah di akun instagram Kementerian Tenaga Kerja, Selasa (6/10/2020).
Beberapa aspirasi pekerja yang diakomodasi di dalam UU itu, misalnya ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), tenaga kerja alih daya (outsourcing), syarat PHK dan upah yang masih mengacu pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ia pun mengatakan bahwa UU Cipta Kerja juga masih mengakui adanya Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK).
"Ada penegasan dalam variabel dan formula dalam penetapan upah minimum berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi. Selain itu juga ketentuan upah minimum kabupaten kota tetap dipertahankan," tegas Ida dalam keterangannya, Rabu (7/10/2020), yang dikutip dari Kompas.com.
Kendati demikian, Ida menyadari tidak semua aspirasi para buruh dan pekerja dapat diakomodasi pemerintah dan DPR. (Kompas.com/ Ihsanuddin)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Omnibus Law UU Cipta Kerja, Keinginan Jokowi yang Jadi Nyata..."