Mulai tahun 1897 kedatangan para imigran dari Indonesia ini dikelola langsung oleh pemerintah Hindia Belanda.Dari tahun 1890 hingga 1939, jumlah imigran Indonesia asal Jawa tersebut mencapai 32.956 orang dengan menggunakan 34 kali pengangkutan.
Imigran keturunan Jawa ini bekerja sebagai buruh perkebunan Belanda berdasarkan sistem kontrak.Berdasarkan perjanjian yang ada, para buruh Jawa tersebut memiliki hak untuk kembali ke negara asalnya (repatriasi) bilamana telah habis masa kontraknya.
Dalam periode tahun 1890 – 1939, tercatat 8.120 orang yang telah kembali ke tanah air.
Pada tahun 1947, terjadi lagi gelombang repatriasi tercatat 1.700 orang.
Repatriasi massal terakhir pada 1954, ketika sekitar 1.000 orang Jawa meninggalkan Suriname untuk kembali ke Indonesia.Sebagian besar para imigran Jawa ternyata memilih tetap tinggal di Suriname walaupun hubungan kontrak mereka dengan pemilik perkebunan telah berakhir.
Mereka tetap tinggal dan bekerja di perkebunan itu sebagai pekerja bebas.Bagi mereka, bekerja di perkebunan bukanlah merupakan sesuatu yang baru.
Mereka juga telah terbiasa berhubungan dengan para majikan Belanda yang bertahun-tahun menjajah Indonesia.Kondisi seperti itu merupakan faktor pendorong para keturunan Jawa untuk bertahan.
Mereka tidak terpengaruh oleh buruh India yang pada umumnya meninggalkan pekerjaan mereka, segera setelah masa kontraknya habis.Namun, ketika masa kejayaan perkebunan tebu mulai merosot, banyak orang Jawa di Suriname yang beralih profesi menjadi buruh industri.
Mereka berpindah ke pusat-pusat pertambangan bauksit seperti Moengo, Paranam dan Biliton.
Akibatnya, daerah yang semula dikenal sebagai Distrik Jawa di Suriname karena mayoritas penduduknya keturunan Jawa, seperti Saramacca, Coronie dan Nickerie, semakin kekurangan tenaga buruh.