Ia mengaku jarang bertemu dengan ayahnya karena kedua orang tuanya berpisah saat Hendra masih bayi.
Tetapi begitu mengetahui ayahnya ditangkap dan dieksekusi enam tahun kemudian--pada November 2008-- reaksinya "sempat marah kepada negara" karena mengeksekusi ayahnya.
"Sudah kacau pikiran saat itu.
Setelah lihat jenazah dibuka.
Saya down.
Emosi memuncak," katanya.
Ditambah lagi dengan sulitnya dia mencari nafkah dengan cap yang lekat padanya sebagai anak pelaku pengeboman.
Ia mengatakan sempat bertemu ayahnya di Nusakambangan beberapa kali sebelum dieksekusi dengan perasaan yang "campur aduk" saat itu, antara percaya dan tidak percaya di tengah "emosi jiwa muda."
Di tengah emosi yang cukup tinggi dan "rasa dendam", kata Hendra, ia sempat "mau meneruskan apa yang dilakukan bapak" dengan belajar membuat senjata dan sempat meminta pamannya, Ali Fauzi, untuk mengajarinya membuat bom.
Namun permintaan itu ditolak.