Nama Molenvliet dihubungkan dengan kilang-kilang gula (molen= kilang).
Karena dari sini harus diambil aliran air untuk penggerak kilang-kilang itu, maka air Ciliwung dibendung di Pintu Air, sekarang dekat Mesjid Istiqlal.
Pembuatan terusan-terusan dan saluran air lainnya mungkin memang berguna untuk pertahanan kota, lalu lintas air dan pertanian, tetapi tata air di sekitar Jakarta mengalami kemunduran.
Sistem jaringan terusan itu malah menambah bahaya banjir dan pengendapan lumpur.
Area tanah yang digenangi air tak mengalir makin luas.
Dalam keadaan tata air demikianlah pada tahun 1699, Betawi ditimpa musibah meletusnya Gunung Salak yang mendatangkan banjir lumpur dari pegunungan disertai dengan hujan abu yang lebat.
Semua jalan air tersumbat lumpur.
Pertambahan tanah pada pantai juga makin memperburuk keadaan masalah drainase yang sudah dalam keadaan tak baik.
Garis pantai berpindah sekitar 75 meter ke arah laut dalam waktu sebulan, yang setengahnya terjadi pada tanggal 4 dan 5 Januari sesudah letusan Gunung Salak itu.
Setiap banjir, lumpur menyumbat jalan air kembali, padahal pada musim kemarau sebelumnya dikeruk dengan susah payah.
Cara melancarkan jalan air dengan pengerukan itu hanya bisa bertahan beberapa tahun, sehingga orang berdaya untuk mengatasi masalah banjir yang datang setiap musim hujan.
Pencemaran oleh kilang tebu