Beberapa waktu lalu juga ramai masyarakat yang tertangkap kamera tengah mengambil swafoto bersama dengan rekan lainnya di lokasi bencana tsunami yang masih porak-poranda.
Kejadian tersebut bahkan diberitakan oleh sebuah media internasional asal Inggris, The Guardian, dengan mengangkat judul “Disaster gets more likes: Indonesia’s tsunami selfie-seekers”.
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Prof Drs Koentjoro MBSc PhD mengemukakan pendapatnya.
Seperti dikutip dari Kompas.com, Koentjoro mengatakan, selfie telah mengubah perilaku manusia.
Masyarakat, menurut dia, tidak lagi terlalu memedulikan kondisi sekitar, karena yang terpenting bagi mereka adalah mendapatkan momen yang mungkin tidak akan mereka temui untuk kedua kalinya.
Momen menjadi penting. Setiap kali ada momen orang selfie. Bahkan momen itu dicari dan diciptakan, sehingga nyawa menjadi taruhannya," kata Koentjoro.
Kawasan Banten yang berdekatan dengan Selat Sunda hingga saat ini masih belum aman untuk dikunjungi. Bahkan, masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut diimbau untuk ada di radius aman yang telah ditentukan.
Terlebih, saat ini status Gunung Anak Krakatau sudah ada di level Siaga III. Hal ini menunjukkan betapa wilayah terdampak kemarin tidak semestinya dijadikan destinasi kunjungan untuk mengambil gambar diri.
Munculnya fenomena-fenomena yang terkesan menggambarkan sikap antipati ini memang baru muncul belakangan ini, setelah gadget dan media sosial begitu dekat dengan kehidupan manusia.
Baca Juga : Buruan Ditukar! Hari Ini Batas Terakhir Tukar Uang Kertas Rupiah Keluaran 1998 dan 1999, Jangan Sampai Rugi!