"Fenomena yang banyak terjadi masyarakat lebih berfokus pada dampak atau duka laranya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat kita masih bersifat reaktif daripada proaktif mencegah terjadinya risiko bencana," ungkap Listyo kepada Kompas.com, Rabu (26/12/2018).
"Kesadaran akan potensi bencana dan pengenalan mitigasi bencana yang sesuai dengan ancaman bencana yang dapat dialami di daerahnya masih tergolong rendah," imbuhnya.
Baca Juga : Hati-hati dengan Grup WhatsApp Reuni Sekolah Dulu, Bisa Jadi Celah untuk Mulai Perselingkuhan
Ia menambahkan, masyarakat yang tidak terkena bencana masih memiliki keyakinan bahwa bencana yang terjadi di daerah lain tidak akan terjadi di daerahnya.
"Banyak masyarakat yang tidak mengetahui potensi bencana di daerahnya dan tidak mengikuti informasi terbaru pemetaan potensi bencana," ujar Listyo.
"Masyarakat juga masih belum menyadari sebagai agen pendidikan bencana sehingga meletakkan tanggungjawab penanganan bencana kepada pemerintah ataupun organisasi penanganan bencana," sambungnya.
Selain itu, peran media juga berpengaruh membuat masyarakat Indonesia masih reaktif menanggapi bencana.
" Bencana yang terjadi dalam skala besar selalu diliput dan menjadi fokus atau trending topic media," kata Listyo.
"Media selama ini lebih banyak menginformasikan atau memberitakan tentang proses kejadian bencana dan dampaknya sehingga masyarakat fokus pada duka lara dibandingkan edukasi pembelajaran bencana," imbuhnya.
Untuk itu, menurut dosen psikologi di Universitas Surabaya tersebut, media seharusnya punya peran ideal sebagai sarana memberi informasi terkait bencana, dampak dan edukasi mitigasi bencana untuk pengurangan risiko bencana.
Lain lagi dengan fenomena 'selfie' di lokasi bencana.