Suar.ID -Rupanya Ini Mitos Vaksin Covid-19 yang Kerap Dipercaya, Salah Satunya bisa Menyebabkan Kemandulan.
Ada sejumlah informasi yang salah terkait vaksin Covid-19, satu di antaranya adalah vaksin dapat menyebabkan kemandulan.
Namun, para ahli telah membantah hal itu.
Memang, belakangan informasi tersebut ramai beredar di media sosial.
Beberapa jenis vaksin Virus Corona yang telah disetujui penggunaannya, diklaim dapat menyebabkan kemandulan.
Saat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Covid-19 sebagai pandemi global pada Maret 2020, hanya sedikit upaya yang dapat mengantisipasi keparahan virus yang dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari ini.
Bahkan, sebelum resmi diumumkan sebagai pandemi global, para ahli farmasi dan ilmuwan di seluruh dunia sedang menjalani proses yang sulit untuk mengembangkan vaksin Covid-19.
Kini upaya mereka mulai membuahkan hasil dan vaksin mulai disetujui, kemudian digunakan oleh publik.
Namun sayangnya, setiap vaksin baru menghadapi ledakan informasi yang salah atau beragam hoaks.
Akibatnya, semakin sulit bagi orang-orang untuk menemukan informasi yang dapat dipercaya untuk membantu mereka memutuskan apakah akan divaksinasi.
Menyadurdari Science Alert, delapan pakar atau ahli vaksinologi dan biologi reproduksi mencoba menjelaskan dan meluruskan pernyataan terkait vaksin Covid-19 dapat menyebabkan kemandulan.
Ahli menjelaskan, kekhawatiran akan vaksin Covid-19 yang disebut dapat menyebabkan kemandulan muncul melalui serangkaian informasi di media sosial.
Banyak informasi tanpa penjelasan yang tepat menunjukkan, vaksin Pfizer berkaitan dengan protein yang ditemukan di dalam plasenta yang disebut syncytin-1.
Dalam suatu postingan menyebut, vaksin corona yang dikembangkan Pfizer dan BioNTech mengandung syncytin-1 atau protein spike yang merupakan bagian dari vaksin mirip dengan syncytin-1.
Oleh sebab itu, informasi yang salah ini menyebabkan kekhawatiran, vaksin Pfizer tersebut akan melatih sistem kekebalan tubuh menyerang plasenta orang tersebut.
Syncytin-1 bukanlah salah satu bahan vaksin.
Dalam hal kesamaan dengan protein spike, ini tidak cukup untuk menyebabkan masalah respon auto-imun.
Semua protein terbuat dari untaian panjang asam amino yang dilipat menjadi bentuk 3D yang rumit.
Profesor Catherine Thornton dari Swansea University, Wales, Inggris menjelaskan, agar antibodi salah mengenali syncytin-1 sebagai SARS-CoV-2, harus ada kemiripan asam amino yang cukup dalam string ini (yang sebenarnya tidak ada).
"Asam amino kritis akan perlu dikelompokkan bersama dalam molekul 3D dengan cara yang cukup mirip dan dapat diakses, padahal sebenarnya tidak," kata Profesor Thornton.
Berbagai studi telah menunjukkan,antibodi terhadap protein spike SARS-CoV-2 tidak menyerang plasenta.
Pasalnya, telah ditemukan antibodi SARS-CoV-2 pada bayi yang baru lahir.
Antibodi ini telah melewati plasenta dari ibunya ketika mereka terinfeksi selama masa kehamilan.
Lalu, apakah teknologi vaksin RNA generasi mendatang akan memperhatikan kesuburan?
Alih-alih menggunakan protein spike itu sendiri untuk membuat respons imun, vaksin generasi berikutnya ini justru menggunakan sepotong kode genetik, RNA.
RNA digunakan oleh sel-sel dalam tubuh manusia.
Pada kenyataannya, RNA sangat penting untuk semua bentuk kehidupan yang ada di dunia.
"Potongan RNA, dengan cepat terdegradasi di tempat injeksi setelah rantai RNA diterjemahkan menjadi asam amino (pembangun protein)."
"Jadi, tidak ada kemungkinan bahwa RNA bisa pergi ke bagian lain dalam tubuh untuk mempengaruhi kesuburan," kata Dr Lee Riley pakar biologi reproduksi dari University of California, Amerika Serikat.
Para ahli kembali menegaskan, semua vaksin Covid-19 yang dikembangkan untuk mengatasi pandemi Virus Corona saat ini telah melalui tahapan pengujian pada hewan dan tidak ditemukan efek apapun memengaruhi kesuburan.
Hingga saat ini, belum ada data dari uji klinis pada manusia yang secara khusus mempelajari efek vaksin corona terhadap kesuburan.
Bahkan pada uji coba keamanan, mengecualikan wanita hamil dan peserta diminta untuk menghindari kehamilan.
Ahli vaksin lainnya, Dr William Hausdorff menambahkan, pengecualian tidak didasarkan pada masalah keamanan teoritis tertentu.
Namun, karena kewaspadaan berlebihan yang umumnya terlihat dalam uji coba vaksin.
Terlepas dari kriteria tersebut, ada 53 kehamilan terjadi selama uji klinis vaksin Pfizer, Moderna, dan AstraZeneca.
Hasil dari kehamilan ini tidak berbeda pada peserta yang menerima vaksin Covid-19 dibandingkan mereka yang tidak divaksin.
Hal ini menunjukkan, vaksin ini memiliki pengaruhsangatkecil terhadap kesuburan atau kehamilan.