Punya Andil Besar Dalam Pembantaian Etnis Rohingya Di Myanmar, Inilah Sosok Jenderal Yang Pimpin Kudeta Militer Terhadap Pemerintahan Aung San Suu Kyi
Suar.ID -Myanmar alias Burma kembali bergejolak.
Kali ini bukan soal pembantaian etnis Rohingnya tapi kudeta junta militer Myanmar terhadap pemerintahan Aung San Suu Kyi.
Kudeta militer Mynmar terhadap pemerintahan Aung San Suy Kyi dipimpin oleh Jenderal Min Aung Hlaing yang juga disebut punya andil besar dalam pembantaian etnis Rohingnya.
Baca Juga: Viral Gadis dengan Pinggang Terkecil di Dunia, Mengaku Tidak Operasi dan Alami Sejak Lahir
Siapa sebenarnya JenderalMin Aung Hlaing?
Senin (1/2) waktu setempat, junta militer Myanmar dikabarkan mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan Aung San Suu Kyi.
Militer Myanmar mengumumkan keadaan darurat nasional selama satu tahun.
Pengambilalihan kekuasaan itu ditandai dengan ditahannya Aung San Suu Kyi para pemimpin dari partai Liga Nasional Untuk Demokrasi (NLD)
Alasan yang membuat milier Myanmar melakukan kudeta adalah dugaan adanya kecurangan dalam pemilu tahun lalu.
Menurut sumber militer, panglima militer Jenderal Min Aung Hlaing yang memimpin kudeta milliter kini memberlakukan keadaan darurat selama satu tahun.
Militer Myanmar kini menduduki balai kota Yangon sekaligus mengontrol data internet seluler serta layanan telepon.
Penduduk juga melaporkan konektivitas internet turun secara drastis.
Juru bicara NLD Myo Nyunt, seperti dilaporkan Reuters, mengatakan, Aung San Suu Kyi, Presiden Myanmar Win Myint, dan para pemimpin NLD lainnya telah ditangkap pada dini hari tadi.
Kembali ke pertanyaan di atas, siapa jenderalMin Aung Hlaing?
JenderalMin ternyata bukan sosok yang baru muncul.
Dia dianggap sebagai adalah otak dari penindakan terhadap etnis Rohingya.
Pada 26 Oktober 2017, Menteri Luar Negeri AS saat itu, Rex Tillerson, menelepon langsung Min dan mendesaknya agar menghentikan kekerasan.
Jenderal berusia 64 tahun itu sempat mengeluhkan dunia sudah menghakiminya secara tidak adil atas "solusi akhir" atas Rohingya.
Menurut keterangan dari mantan teman sekelasnya seperti dikutip Reuters, Min hanyalah sosok kadet yang biasa saja.
Dia disebut baru bisa menembus Akademi Badan Pertahanan yang dikenal elite di percobaan ketiga dan memulai karier kemiliterannya.
Sebagian besar pengabdiannya dihabiskan memerangi pemberontak di perbatasan timur, di mana dia dikenal karena melecehkan etnis minoritas.
Pada 2009, dia memimpin operasi di perbatasan Myanmar-China untuk memberangus pemimpin setempat, Peng Jiasheng.
Peristiwa yang dikenal sebagai Insiden Kokang ini memang berlangsung selama satu pekan.
Namun dampak yang ditimbulkan luar biasa.
Di antaranya adalah melanggar gencatan senjata selama 20 tahun, membuat 30 ribu orang terpaksa mengungsi ke China.
Dan yang paling penting, mengusir kelompok separatis dari perbatasan yang selama ini memang diposisikan untuk jadi jalur perdagangan utama.
Pada 30 Maret 2011, Min Aung Hlaing menjadi panglima angkatan bersenjata Myanmar, dikenal sebagai Tatmadaw.
Dia memimpin transisi kekuasaan dari tangan militer yang hampir 50 tahun berkuasa ke tangan sipil.
Namun, pengamat menyebut itu semu.
Sebabnya, hubungan itu dianggap sekadar top-down.
Militer tidak ingin gerakan rakyat makin meluas sembari mereka memertahankan kekuasaan.
Selain itu, dia juga membuyarkan harapan negara Barat yang menganggap sang panglima sebagai sosok negarawan dan caranya berbicara sangat jelas.
Pada 2015, kepada BBC dia mengungkapkan tidak bisa mengatakan dengan pasti kapan pemerintahan Myanmar akan diserahkan ke sipil seluruhnya.
"Mungkin saja lima tahun. Mungkin juga bisa berlangsung selama 10 tahun. Saya tak bisa mengatakannya dengan jelas," paparnya.
Min, meski hanya memimpin tiga kementerian, pertahanan, urusan perbatasan, dan urusan dalam negeri, pengaruhnya sangat besar.
Sementara pemerintahan sipil bisa menelurkan legislasi, Min dan kroninya memegang kekuasaan dari polisi, pasukan perbatasan, hingga Departemen Administrasi Umum.
Min Aung Hlaing juga mendapat wewenang memilih seperempat anggota parlemen, yang bisa memveto jika ada kebijakan yang tak menguntungkan.
Kemudian mereka sewaktu-waktu bisa melakukan kudeta, dengan klausul "militer berhak mengambil alih dan memimpin negara jika demokrasi dianggap mati".
Pada pemilihan di bulan November 2020 lalu, NLD memenangkan cukup kursi untuk membentuk pemerintahan, tetapi militer mengatakan pemungutan suara itu curang.
NLD memenangkan 83% kursi yang tersedia dalam pemilihan 8 November dalam apa yang oleh banyak orang dianggap sebagai referendum terhadap pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi.
Namun militer membantah hasil tersebut, mengajukan pengaduan ke Mahkamah Agung terhadap presiden dan ketua komisi pemilihan.
Ketakutan akan kudeta militer meningkat setelah militer baru-baru ini mengancam akan "mengambil tindakan" atas dugaan penipuan.
Komisi pemilihan telah menolak tuduhan tersebut.
Majelis rendah parlemen yang baru terpilih dijadwalkan bersidang untuk pertama kalinya pada hari Senin, tetapi militer menyerukan penundaan.