Sebabnya, hubungan itu dianggap sekadar top-down.
Militer tidak ingin gerakan rakyat makin meluas sembari mereka memertahankan kekuasaan.
Selain itu, dia juga membuyarkan harapan negara Barat yang menganggap sang panglima sebagai sosok negarawan dan caranya berbicara sangat jelas.
Pada 2015, kepada BBC dia mengungkapkan tidak bisa mengatakan dengan pasti kapan pemerintahan Myanmar akan diserahkan ke sipil seluruhnya.
"Mungkin saja lima tahun. Mungkin juga bisa berlangsung selama 10 tahun. Saya tak bisa mengatakannya dengan jelas," paparnya.
Min, meski hanya memimpin tiga kementerian, pertahanan, urusan perbatasan, dan urusan dalam negeri, pengaruhnya sangat besar.
Sementara pemerintahan sipil bisa menelurkan legislasi, Min dan kroninya memegang kekuasaan dari polisi, pasukan perbatasan, hingga Departemen Administrasi Umum.
Min Aung Hlaing juga mendapat wewenang memilih seperempat anggota parlemen, yang bisa memveto jika ada kebijakan yang tak menguntungkan.
Kemudian mereka sewaktu-waktu bisa melakukan kudeta, dengan klausul "militer berhak mengambil alih dan memimpin negara jika demokrasi dianggap mati".
Pada pemilihan di bulan November 2020 lalu, NLD memenangkan cukup kursi untuk membentuk pemerintahan, tetapi militer mengatakan pemungutan suara itu curang.
NLD memenangkan 83% kursi yang tersedia dalam pemilihan 8 November dalam apa yang oleh banyak orang dianggap sebagai referendum terhadap pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi.
Namun militer membantah hasil tersebut, mengajukan pengaduan ke Mahkamah Agung terhadap presiden dan ketua komisi pemilihan.