Lalu kondisinya sekarang berbeda. Kubu Beijing mengatakan telah menghentikan penyebarannya, terbukti dengan data pada Kamis (19/3/2020) yang menunjukkan nol kasus domestik baru.
Akan tetapi, di belahan dunia lainnya, negara-negara sedang berjuang ekstra keras untuk mengatasi pandemi ini.
China pun mencoba membantunya dengan mengirim masker, persediaan medis, dan para ahli. Semudah itukah China membalikkan citranya?
Tentu tidak, karena baru-baru ini "Negeri Tirai Bambu" harus terlibat adu mulut dengan Amerika Serikat (AS).
Presiden AS Donald Trump berulang kali menyebut virus corona sebagai "virus China".
Trump juga menuduh China kurang memberi informasi secara transparan, yang berakibat jumlah kasus virus corona kini mencapai 240.000 di seluruh dunia.
Dalam sebuah konferensi pers, Kamis (19/3/2020), orang nomor satu di "Negeri Uncle Sam" tersebut mengatakan "dunia harus membayar mahal".
Tak pelak, kalimat yang terlontar dari mulut Trump langsung memantik api pertikaian.
Kementerian Luar Negeri China membalasnya pada Jumat (20/3/2020), dengan mengatakan bahwa AS berusaha "mengalihkan kesalahan" atas pandemi ini.
Para analis mengatakan, pertikaian ini membuat China mempunyai keuntungan untuk memosisikan dirinya sebagai pemimpin global alternatif, ketika AS sedang berjuang melawan virus di wilayahnya.
"Sekarang dengan Pemerintah AS yang dipimpin Trump gagal memberi respons internasional yang bermakna, dan Uni Eropa sibuk dengan respons nasionalnya, China punya kesempatan mengisi tempat yang kosong."