Suar.ID -Ini adalah cerita tentang sekelompok punk di Kuba yang mencoba melawan represi pemerintah Fidel Castro.
Bukan dengan aksi turun ke jalan, kelompok ini melakukan hal yang rasanya tak akan dilakukan kelompok lain.
Mereka menyuntikkan virus HIV ke tubuh mereka sendiri.
Seperti disebut di awal, aksi itu tidak untuk membahayakan orang lain kok.
Kelompok punk ini menamakan diri Los Frikis dan berbasis di Kuba.
Ketika itu, pemerintahan Fidel Castro berusaha keras untuk mempertahankan ketertiban nasional dengan cara-cara represif.
Salah satu manifestasinya, polisi menindak keras para gelandangan dan orang-orang yang dianggap berada di “luar” kelompok mereka.
Para Frikis menjadi salah satu target penertiban itu.
Mereka dianggap sebagai kelomok "berbeda", dan dianggap melalaikan norma kehidupan di bawah sosialisme Kuba.
Lebih dari itu, mereka sering dilecehkan, ditangkap, dipenjarakan, atau dipaksa melakukan kerja kasar.
Nah, salah satu bentuk protes yang mereka lakukan adalah dengan menginfeksi diri mereka sendiri dengan HIV yang mereka ambil dari teman-teman Frikis mereka yang positif HIV.
Bagaimanapun juga, ini sangat membingungkan.
Tapi dengan beragam alasan, apa yang dilakukan kelompok ini cukup beralasan.
Setelah runtuhnya Uni Soviet, Kuba relatif berjuang sendirian--sebagai negara sosialis.
Kondisi ini membuat negara yang terletak di Amerika Tengah itu mengalami krisis pangan yang secara fisik mengubah orang Kuba untuk selamanya.
Nah, di waktu yang sama, wabah AIDS semakin memburuk.
Negara-negara di seluruh dunia pun segera mengendalikan penyebaran virus ini.
Yang paling kontroversial adalah yang dilakukan Kuba.
Orang-orang dewasa di negara itu yang terjangkit HIV dimasukkan ke sanatorium untuk dikarantina.
Nah, dalam kondisi inilah para Frikis melihat ada kesempatan untuk melarikan diri dari masyarakat yang diskriminatif, yang berusaha merampas kebebasan mereka.
“Ia tahu, dengan menginfesi diri, ia akan dikirim ke sanitarium,” ujar Niurka Fuentes, bercerita tentang suaminya, seorang Frikis bernama Papo La Bala alias Papo si Peluru, kepada Vice.
“Ia tahu akan bertemu orang seperti dirinya di sana, polisi akan meninggalkannya, dan ia bisa menjalani hidupnya dengan damai.”
Menurut laporan Ranker.com, Papo menginfeksi dirinya dengan HIV menggunakan darah yang diperolehnya di sebuah konser.
Ia mengklaim, dirinya melakukan itu karena pemerintah Kuba tidak akan membiarkannya menjalani hidup dengan caranya, cara punk-nya.
Jadi ia akan melawan, bagaimanapun caranya.
Lebih dari itu, ia sadar dengan konsekuensi yang akan ia tanggung di depannya.
Benar, daripada harus hidup di jalanan atau di tempat di mana mereka kerap dilecehkan dan dianiaya, para Frikis yang terinfeksi ini menemukan tempat di mana mereka dapat makan gratis, tempat tinggal, dan pengobatan.
Karena saking banyaknya Frikis yang dikirim ke sanitarium, tempat itu lantas menjadi surga punk.
“Anda bisa mendengar rock’n roll dan heavy metal yang keluar dari setiap rumah (di sanitarium),” ujar Yoandra Cardoso, seorang Friki yang kini tinggal di area bekas sanitarium.
“Ketika sanitarium dibuka pertama kali, 100 persen isinya Friki … kami semua bersama,” tambahnya.
Masih menurut Vice, pada 1989, militer menyerahkan kendali sanitarium kepada Kementerian Kesehatan.
Dan di bawah metodologi progresif, para pasien yang tinggal di sana diperbolehkan mendengar dan memainkan alat musik.
Mereka juga diperbolehkan mengenakan pakaian sesuai selera, dan bersosialisasi dengan orang lain baik di dalam maupun di luar sanitarium.
“Kami menciptakan dunia kami sendiri di sana,” tambah Fuentas.
Kini, hampir seluruh sanitarium sudah ditutup. Kalaupun ada, fungsinya lebih untuk rawat jalan alih-alih tempat karantina.