"Tapi gerakan tubuh yang kemudian menimbulkan persepsi porno atau persepsi cabul, atau persepsi yang memang itu melanggar kesusilaan," papar Eddy.
Eddy mengatakan bila konten ditampilkan di publik maka tidak harus ada yang mengadu, karena hal tersebut adalah delik biasa.
Namun, oleh siapapun yang merasa terusik dengan suatu tampilan yang bermuatan pornografi maka orang tersebut dapat melaporkan kepada kepolisian.
Sementara itu, Eddy menjelaskan konten di media sosial tidak dibatasi dengan sensor, sehingga susah untuk membatasi usia penonton yang menggunakan media sosial.
Di sisi lain, Eddy menegaskan kembali, semua bentuk laporan persoalan pornografi harus dilihat sebab-musababnya.
"Mengapa orang berkomentar demikian, kalau kita menampilkan foto yang biasa, orang berkomentar demikian, itu jelas masuk dalam pencemaran nama baik."
"Tetapi kalau menampilkan foto syur, yang menampilkan anggota tubuh dan lain sebagainya, itu tidak bisa serta-merta lalu kita kemudian melapor," papar Eddy.
Ia mengatakan, kembali kepada tujuan undang-undang pornografi yang dibuat untuk menciptakan tatanan yang beretika agar masyarakat memiliki kepribadian yang luhur.
Baca Juga: Amaranta Hank, Bintang Film Dewasa yang Buka 'Kampus Porno' di Kolombia
Tetapi di satu sisi dalam undang-undang pornografi tersebut juga bertujuan untuk mencegah komersialisasi seksual khususnya terhadap perempuan dan anak.
Sebab perempuan dan anak merupakan masyarakat yang sangat rentan terhadap korban kejahatan.
Eddy menambahkan ketika suatu konten atau postingan masuk dalam batasan pornografi maka hal itu dapat dilaporkan.