Suar.ID -Di usianya yang tak lagi muda, Ki Maun (71) terpaksa berkeliling Jakarta sambil berjualan sapu demi tetap bisa bertahan hidup.
Dilansir Tribun Jakarta, Ki Maun pun mulai berjualan sapu mulai dari rumahnya yang berada di jalan Bina Marga hingga ke wilayah Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Usai berjualan sapu, Ki Maun pun akan kembali ke gubuk reotnya pada malam hari.
Di gubuk reotnya ini, ia hanya tinggal sebatang kara tanpa ditemani anak ataupun istrinya.
Ini terjadi sejak ketiga anak perempuannya yang sudah menikah dan memilih ikut suami mereka masing-masing.
Anak-anak Ki Maun sendiri ini tinggal di berbagai wilayah mulai dari Lubang Buaya, Pondok Gede dan yang terakhir Cibinong.
Sedangkan untuk istri Ki Maun sendiri sudah lama meninggal dunia.
"Istri saya sudah lama meninggal, anak jarang nengokin saya. Jadi kalau pulang keliling sapunya pada enggak laku langsung tidur aja."
"Kalau punya istri kan enak bisa cerita, 'sapu enggak laku nih mah, kita makan apa hari ini ya?'," ungkapnya.
Ki Maun sendiri mengaku bahwa dirinya bukan tipe orang yang suka keluar jika sudah berada di rumah.
Ia lebih memilih untuk langsung tidur karena sudah lelah berkeliling menjajakan sapunya berkeliling.
"Rumah saya ma gubuk. Jauh dari mana-mana. Kalau mau ngobrol sama tetangga juga jauh."
"Di situ saya suka sedih. Tapi kalau dipikirin aja malah jadi pusing, makanya saya tinggal tidur aja," tandasnya.
Mengutip Tribun Jakarta, Ki Maun setiap harinya selalu membawa 10 sapu dan selalu diletakkan di punggungnya saat berkeliling.
Ki Maun bukannya tak mampu membawa sapu yang lebih banyak, namun ini lebih dikarenakan penjualan sapu yang kian hari kian sepi dan sulit untuk terjual.
Sehingga saat membawa banyak sapu dan tak laku, ia merasa tenaga yang dipakai menjajakan sapunya ini bisa terbuang percuma.
"Bawa 10sapuaja susah lakunya. Kalau rezeki lagi bagus bisa habis dalam satu hari itupun jualan dari pagi sampai malam."
"Tapi kan seringnya susah laku. 10 sapu ini habis 2 hari aja sudah bagus banget," sambungnya.
Sebenarnya Ki Maun sendiri mengaku ingin mengganti barang dagangannya menjadi barang yang lebih mudah laku dan juga kekinian.
Namun ia masih terkendala masalah modal usaha.
Ki Maun sendiri waktu masih muda bekerja serabutan untuk mengumpulkan modal usahanya.
Sedangkan di masa tuanya kini, ia hanya bisa menggantungkan penghasilan dari penjualan sapunya.
Ki Maun memilih berjualan sapu karena sistemnya yang berupa setor ketika sudah laku.
"Ya abisnya mau jualan lainnya modalnya enggak ada. Kalau ini kan saya ambil dulu, pulangnya setor."
"Untuksapulidi dari bos Rp 7.500 dansapulantai Rp 12 ribu," ungkapnya.
Tiap sapunya nanti akan dihargai mulai dari Rp 20 ribu hingga Rp 25 ribu.
Harga yang dipatok ini sudah termasuk tenaga yang dikeluarkan oleh Ki Maun.
"Saya kasih harga segitu aja masih banyak ditawar. Yaudahlah saya ma selalu kasih selama kita jualan ada untungnya," tambahnya.
Makan Sehari Sekali
Karena penghasilan yang tak menentu, pola makan Ki Maun pun terpaksa mengikuti penghasilannya.
Jika sapunya hanya terjual satu biji saja setelah seharian berkeliling, maka Ki Maun hanya akan makan satu kali.
Ki Maun beralasan melakukan hal ini karena uangnya tak cukup.
"Saya mah makannya gampang. Yang penting setoran enggak pernah kurang."
"Yang penting kita masih ada usahanya buat cari uang tanpa mengemis," katanya.
Meski memiliki kehidupan yang pas-pasan dan ketiga anaknya kehidupannya tak jauh berbeda, hal ini tak lantas membuat Ki Maun berhenti bersedekah.
Tiap ia berkeliling untuk menjajakan sapu, Ki Maun mengatakan selalu bertemu dengan orang-orang yang baik.
Karena sedara tiba-tiba sering dibelikan makanan atupun minuman bahkan sampai uang.
"Suka ada yang ngasih ke saya. Padahal enggak belisapu, tahu-tahu kasih uang. Kadang juga saya dibeliin makan sama kopi," jelasnya.
Uang yang diperoleh dari orang-orang ini kemudian ia kumpulkan.
Sehingga nantinya jika ada kebutuhan yang mendesak bisa ia gunakan tanpa merepotkan orang lain.
Ki Maun juga tak jarang memberikan sebagian uangnya kepada rekannya yang lebih membutuhkan.
Namun ia mengaku uang yang diberikan selama ini tak pernah dikembalikan.
"Kadang juga ada teman, janda juga dia pinjam uang buat anaknya sekolah. Saya kan kasian juga makanya saya pinjamkan."
"Giliran saya butuh saya tanyakan uangnya malah bilang enggak ada terus. Banyak yang begitu pokoknya," sambungKi Maun.
Meski demikian ia tetap mengikhlaskan uang tersebut.
Sebab ia sendiri sudah melupakan hal tersebut dan membiarkan begitu saja.