Suar.ID -Dia sering disebut-sebut pakar di bidang rias pengantin. Namanya mulai dikenal saat merias putra-putri keraton Yogya.
Ibu tiga anak ini tak pernah menyangka jika akhirnya menjadi langganan keluarga Presiden Soeharto yang saat itu memimpin negeri ini.
Terakhir, ia membuat pernikahan Annisa Pohan dan putra suiung Presiden SBY, Agus Harimurti, menjadi peristiwa yang tak teriupakan. Simak kisah hidup Tienuk Rifki yang sangat menginspirasi.
---
Lega rasanya usai menjalankan satu tugas. Apalagi kalau tugas tersebut adalah tugas berat yang menyita perhatian hampir seluruh masyarakat Indonesia.
Ya, saya memang baru saja menunaikan tugas sebagai perias pengantin pernikahan putra suiung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti dan seorang artis cantik Annisa Pohan.
Dalam pernikahan megah itu, saya dipercaya merias dan membantu menyelenggarakan upacara adat Yogyakarta seutuhnya.
Orang-orang memang mengenal saya sebagai seorang perias pengantin, terutama tata rias pengantin Yogya.
Sejak remaja saya memang berusaha mendalami tata rias dan adat istiadat pernikahan Yogya.
Di daerah ini pula saya dilahirkan, tepatnya 29 Juni 1950 di daerah Sleman, pada zaman Belanda atau "Yogya Kembali", sebagai anak suiung dari 7 bersaudara.
Bapak saya, letnan Kolonel Muchalip, adalah seorang militer. Karena itu, masa kecil saya dihabiskan di asrama militer, yang sekarang telah menjadi Senopati Shopping Center.
Saya tinggal di perumahan perwira itu hingga lulus SD di Keputran I Alun-alun Utara.
Sebagai perwira, Bapak sering berpindah-pindah. Ketika saya mulai duduk di bangku SMP, Bapak ditugaskan ke Irian.
Mungkin demi kelancaran sekolah kami, atau karena tempat tugas Bapak terlalu jauh, kami sekeluarga memutuskan tidak ikut Bapak ke Irian.
Jadilah kami tinggal bersama eyang di kota Yogya, tepatnya di Jalan Pathuk, yang sekarang terkenal dengan oleh-oleh khas Yogya.
BUKA SALON
Lulus SMP, saya diterima di SMAN 3 Yogya. Di saat yang bersamaan, Bapak kembali dari Irian. Tak terbayangkan betapa girangnya kami saat itu karena dapat berkumpul bersama-sama lagi.
Namun, tak lama kemudian, Bapak langsung ditugaskan ke Magelang. Oleh karena jaraknya tak terlalu jauh dari Yogya, Ibu dan seluruh adikku memilih ikut Bapak.
Saya yang sudah mulai sekolah di SMAN 3, akhirnya memilih tetap tinggal bersama Eyang di Yogya. Awalnya saya merasa sedih juga hams berpisah dengan keluarga.
Kali ini tidak hanya berpisar dengan ayah saja, tapi juga dengan ibu dan adik-adik. Keluarga membesarkan hat) saya, toh jarak Yogya-Magelang cukup dekat, sehingga saya dapat sering bertemu keluarga.
Begitulah, saya mulai menjalani masa SMA layaknya remaja pada umumnya. Saat baru masuk kelas 1, saya mengenal seorang pemuda, kakak kelas saya di kelas 3.
Sejak itu kami berpacaran hingga saya lulus SMA. Waktu itu saya tinggal di daerah yang mayoritas masyarakatnya sangat taat beragama.
Dalam kultur masyarakat setempat, berpacaran, apalagi dalam waktu yang lama, tidak dianjurkan.
Karena itulah, Mohammad Riefki, pria yang sudah merebut hati saya, langsung memutuskan untuk melamar begitu saya lulus SMA.
Lamaran Riefki saya terima dengan senang hati. Tepatnya tahun 1968, kami resmi menikah. Walau masih relatif muda, kami merasa sudah siap membangun mahligai rumah tangga, termasuk siap mendapat momongan.
Cukup lama juga kami menanti anak pertama dari Yang Kuasa. Tiga tahun setelah menikah, barulah anak pertama lahir dan kami beri nama Novi Kusuma.
Setelah putra pertama lahir, untuk mengisi kesibukan sebagai ibu rumah tangga, sekaligus belajar mengurus keluarga, saya mulai ikut berbagai kursus Segala kursus yang berbau kewanitaan saya ikuti. Mulai dari menjahit, memasak, hingga kursus kecantikan.
Waktu itu, suami saya masih kuliah. Saya sempat berpikir, jika punya satu keahiian, mungkin nantinya bisa membantu perekonomian keluarga. Nah, setelah menjalani berbagai kursus, entah mengapa, hati saya hanya tertarik dengan kecantikan.
Mungkin juga saya memang tidak berbakat di bidang lain. Walau sudah kursus, hingga sekarang saya sama sekali tidak bisa menjahit, apalagi memasak. Ha...ha...ha... Kedua bidang tersebut tidak berkembang dalam hati dan pikiran saya.
Setelah selesai kursus, untuk membantu biaya kehidupan sehari-hari keluarga kami, saya membuka salon kecil-kecilan di garasi rumah. Pelanggan salon saya awalnya hanya teman-teman sendiri dan tetangga kanan-kiri.
Setelah itu, beberapa anak-anak teman meminta saya untuk merias mereka saat menjadi pengantin. Tanpa disangka, banyak di antaranya yang mengaku puas dengan hasil riasan saya.
Lama kelamaan, makin banyak orang yang meminta saya merias pengantin. Sampai akhirnya saya berpikir, kenapa tidak memperdalam ilmu merias pengantin saja?
MENANG BERBAGAI LOMBA
Sejak itu, mulailah saya ikut kursus merias pengantin. Pertama kali saya belajar kepada Ibu Dahlan Saleh, sekarang beliau sudah meninggal. Lalu diteruskan belajar pada Ibu Sosronegoro, yang merupakan sesepuh di bidang rias.
Tahu enggak, waktu itu banyak orang yang merasa heran karena jarang sekali ada ibu muda yang menjadi perias pengantin seperti saya. Pada masa itu, perias pengantin didominasi perias yang sudah sepuh-sepuh, sementara usia saya masih 20-an.
Tapi tantangan itu saya jalani dengan mantap, karena saya merasa sangat tertarik dengan bidang rias pengantin. Setelah beberapa lama ikut kursus, saya mulai ikut magang bersama guruguru saya untuk merias pengantin ke mana-mana.
Lama-lama keberanian saya muncul untuk ikut berbagai lomba. Mulai dari tingkat kelurahan sampai tingkat provinsi saya coba. Ternyata kemenangan demi kemenangan saya raih.
Akhirnya saya berani ikut lomba di tingkat nasional.
Kemunculan saya di perlombaan tingkat nasional, ikut pula memunculkan nama saya. Dari sekadar merias kenalan, beberapa orang yang tidak saya kenal mulai mendatangi saya.
Mereka minta saya merias pernikahan putra-putri mereka. Bahkan orang-orang dari daerah lain ada juga yang mulai mengenal dan meminta jasa saya, apalagi ketika saya menjadi juara di tingkat nasional.
Dari situlah saya mulai berkembang dan dikenal masyarakat luas. Dari Yogya sendiri, pamong praja dan pengusaha-pengusaha mulai memakai jasa saya.
Selanjutnya, tanpa disangka, Gubernur Nusa Tenggara Barat, Gatot Suherman, datang dari jauh untuk meminta kesediaan saya merias pernikahan putrinya.
Kebetulan beliau memang berasal dari Yogya. Mungkin beliau mengenal saya atas rekomendasi keluarganya di Yogya atau mungkin juga karena berita kemenangan saya.
Itulah pertama kali saya mulai merias ke luar kota.
Perasaan saya waktu itu senang bercampur deg-degan. Berturut setelah ilu, saya juga dipercaya Gubernur Lampung untuk merias putranya di sana.
Selain tawaran dari daerah sendiri semakin banyak, saya pun mulai rajin menerima tawaran dari luar kota.
Untuk menyanggupi permintaan yang datang, saya tidak pernah membedakan apakah itu dari dalam atau luar kota. Semua ber-usaha saya layani menurut daftar antreannya. Siapa yang duluan minta, itulah yang saya dahulukan.
Alhamdulillah, orang-orang yang memberikan kepercayaan, merasa puas dengan riasan saya.
Merias bagi saya bukan lagi sekadar mempercantik pengantin atau orang yang dirias, tapi saya mulai menjiwai pekerjaan ini.
Lebih dari sekadar merias, saya mulai mengerti dan tertarik untuk mendalami adat-istiadatnya, sarananya, dan rangkaiannya. Saya pun mulai senang mengutak-atik semuanya.
Selain itu, saya pun mulai tertarik dengan riasan adat daerah lain. Lewat seminar-seminar, saya mulai mempelajari riasan adat Bali, Sunda, Betawi, Palembang, Bugis, Aceh, dan Sumatera Barat.
MERIAS KELUARGA PRESIDEN
Sebuah kehormatan besar ketika saya mendapat kepercayaan untuk merias dua putra Ngarso Dalem Hamengkubuwono IX di Keraton Yogya.
Sungguh sebuah anugerah yang luar biasa. Berbeda dengan pengantin lainnya, merias pengantin keraton harus dilakukan dengan banyak aturan.
Ada pakem-pakem yang harus dijalani, tidak hanya oleh pengantinnya, tapi juga saya dan seluruh kru perias.
Suatu anugerah juga bagi saya ketika bisa merasa lebih dekat dan bisa mempelajari tata upacara adat istiadat Yogya, khususnya keraton, dengan lebih lengkap.
Di tahun yang sama, saya juga dipercaya mewakili Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam peragaan busana adat di Den Haag, Belanda.
Dalam peragaan itu, saya mempersiapkan busana adat keraton Yogya. Bangga rasanya bisa mempertunjukkan budaya dari daerah sendiri.
Kesempatan besar lainnya muncul ketika Mahathir Mohammad berkunjung ke Yogya sebagai tamu negara di Gedung Agung.
Waktu itu saya dipercaya menangani peragaan busana pengantin keraton Yogya. Setelah selesai, saya dipanggil oleh putra-putra Pak Harto, yang ketika itu masih menjabat sebagai presiden.
Saya dipertemukan dengan Ibu Tien dan diberitahu bahwa Mbak Mamiek mau jadi pengantin.
Jadilah saya untuk pertama kalinya merias keluarga presiden. Tentu saja ini merupakan pengalaman baru yang mendebarkan bagi saya.
Selain bisa masuk istana dan melihat dari dekat keluarga presiden, saya juga mulai diperkenalkan dengan seluk-beluk protokoler kenegaraan.
Siapa sangka riasan saya kala itu cukup mengesankan keluarga Cendana, sehingga saya menjadi langganan keluarga Cendana.
Artikel ini telah tayang di Tabloid Nova edisi Juli 2005