Suar.ID - Nyo, seorang gadis asal desa pegunungan di lembah Shan, Myanmar, memperlihatkan seorang bayi yang baru berusia sekitar sembilan hari.
"Seperti ayahnya. Terlihat dari bentuk bibirnya. Orang China," kata Nyo mengisahkan kembali memori kelam yang menggelayutinya tatkala dia masih berumur 16 tahun.
Nyo merupakan salah satu korban perdagangan pengantin perempuan sebagai dampak dari sebuah kebijakan berusia 40 tahun di China: kebijakan satu anak.
Dilansir New York Times pekan lalu, aturan itu sempat menuai pujian dari para petinggi Beijing karena dianggap sukses dalam mencegah ledakan penduduk.
Namun selama 30 tahun setelahnya, negara itu harus menuai dampak berupa keputusan keluarga untuk melakukan aborsi atau mengedepankan kelahiran bayi laki-laki.
Para bocah yang telah tumbuh dewasa itu kini disebut sebagai "cabang telanjang".
Sebabnya, kesulitan mencari istri bakal berdampak kepada hancurnya silsilah keluarga mereka.
Ketimpangan gender begitu kentara pada 2004, di mana ada 121 bayi laki-laki di China berbanding 100 bayi perempuan, menurut dinas kependudukan setempat.
Baca Juga: Yan Widjaya Tak Bisa Penuhi Syarat Maaf dari Aura Kasih karena Istrinya Sudah Meninggal Dunia
Setelah menamatkan sekolah tahun lalu, Nyo dan teman sekelasnya, Phyu, memutuskan untuk melamar pekerjaan demi mendapat penghasilan yang bagus.