Follow Us

Kisah Arsilan Tukang Kebun Bung Karno yang di Sisa Hidupnya Memilih Jadi Pemulung: 'Saya Belajar Ilmu Ikhlas dari Bung Karno'

Moh. Habib Asyhad - Selasa, 13 Agustus 2019 | 19:32
Arsilan, tukang kebun Bung Karno yang di masa tuanya memilih jadi pemulung.
Habib Asyhad/Intisari

Arsilan, tukang kebun Bung Karno yang di masa tuanya memilih jadi pemulung.

Suar.ID - Bagi Arsilan, Bung Karno tidak hanya memberinya kemerdekaan sebagai manusia.

Lebih dari itu, Presiden Pertama RI itu memberinya penghidupan, uang, dan yang lebih penting, kebesaran hati.

Sebab, Bung Karno adalah sosok yang sangat ikhlas, dalam arti yang sebenar-benarnya.

Tidak salah jika Arsilan yang pernah bekerja sebagai tukang kebun di Rumah Bung Karno belajar ilmu ikhlas dari presiden pertama RI itu.

Arsilan masih 19 tahun ketika Bung Karno dan Bung Hatta membacakan teks proklamasi di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur no 56, Jakarta, pada 17 Agustus 1945.

Ada ratusan orang di situ, semuanya hening mendengarkan Bung Besar membacakan teks proklamasi yang legendaris dengan suara tenor.

Dia juga berada di tempat itu waktu itu.

Arsilan ikut menyaksikan dan mendengarkan Bung Besar membacakan teks yang diketik oleh Sayuti Melik pada Jumat pagi yang “keramat” itu.

Meski begitu, Arsilan tidak berada di dalam barisan yang takzim.

Dia berada di dekat pagar halaman rumah yang notabene kediaman Bung Karno dengan Fatmawati, istri ketiganya.

Ya, maklum saja, Arsilan sekadar tukang kebun di rumah itu.

Menurut pengakuannya, dia bersama bapaknya ikut menggali lubang tiang bendera yang dikibarkan sesaat setelah pembacaan teks proklamasi itu.

“Waktu itu ramai sekali, ada ratusan orang,” kenang Arsilan yang ketika ditemui Intisari pada medio 2015 lalu tinggal di pondokan kecil yang menempel persis di tembok bagian timur Monumen Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat.

Kesederhanaan si Bung Besar

Sebelum bekerja sebagai tukang kebun di rumah Bung Karno, Arsilan sempat ikut berjuang melawan penjajah.

Terlebih pada zaman penjajahan Jepang.

Hal itu dibuktikannya dengan status anggota Tentara Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia (PKRI) yang dulu lebih dikenal sebagai Laskar Rakyat.

Setelah Proklamasi 1945 Arsilan memutuskan bekerja menjadi tukang kebun di rumah Bung Karno setelah sebelumnya ditunjuk sebagai tukang jaga bola di lapangan tenis di halaman belakang rumah Bung Karno.

Pekerjaan Arsilan sebagai tukang kebun sejatinya adalah pekerjaan turun-temurun.

Bapaknya juga bekerja sebagai tukang kebun di rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur 56, begitu juga dengan kakak-kakaknya.

Sementara saudara-saudaranya yang lain ada yang bekerja sebagai tukang cuci di tempat yang sama.

Meski hanya tukang kebun, Arsilan cukup memahami kehidupan Bung Karno pada waktu itu.

Majikannya hidup sangat sederhana dan bersahaja.

Tidak ada tindak-tanduk ndoro atau juragan dalam diri Bung Karno.

Saking sederhananya, kata Arsilan, dia kerap menyaksikan Bung Karno dan anggota keluarganya makan hanya berlauk ikan asin dan lalapan.

Demikian juga dengan perabotan rumah, jauh dari kata mewah.

Karena Bung Karno bukan sosok kaya raya, gaji Arsilan tiap minggu tak begitu besar.

“Lebih tepatnya upah, bukan gaji. Setiap minggunya, saya diberi beras 3,5 kg dan uang sebesar 3 picis 5 sen. Waktu itu, itu angka yang sangat kecil,” cerita Arsilan tanpa bermaksud mengeluh.

Menghormati pembantu

Kala itu rumah Bung Karno cukup luas. Arsilan merasa nyaman tinggal di sana.

Apalagi Bung Karno selalu mempersilakan siapa saja untuk berkunjung ke rumahnya.

Saking nyamannya, Arsilan bebas membawa teman-temannya untuk bermain dan bercengkrama di sana.

“Dulu, di pojokan halaman yang sekarang jadi tempat mangkal para tukang ojek itu, saya sering bermain-main dengan teman-teman saya,” cerita Arsilan sembari menunjuk sudut yang persis berada di titik pertemuan Jl. Bonang dan Jl. Proklamasi sekarang.

Rumah tersebut juga kerap digunakan sebagai tempat berkumpul teman-teman Bung Karno.

Tidak melulu untuk keperluan yang serius, tapi juga untuk bersantai ria.

Arsilan pernah melihat ada beberapa orang yang bermain kartu di sana dan bersenda gurau.

Mereka juga bebas untuk mengambil makanan dan minuman.

Selalu ada persediaan makanan di sana, meski sangat sederhana.

Tapi ada syaratnya, siapa pun itu, jika ingin makan, harus mengambil sendiri. Jika ingin minum kopi, juga harus menyeduh sendiri.

“Ini berlaku untuk semuanya. Menurut Bung Karno, pembantu sudah capek jadi tak boleh direpotkan lagi,” kata Arsilan.

Mantra sakti

Di mata Arsilan, Bung Karno merupakan sosok yang gigih dan ikhlas.

Tapi di sisi lain, Bung Karno juga sekadar manusia biasa tidak berbeda jauh dengan orang-orang kebanyakan.

Hanya saja, si Bung Besar ini diberi kemampuan untuk menghidupi dan mengajak rakyak untuk membebaskan diri dari penjajahan.

Bung Karno juga merupakan sosok spesial bagi Arsilan. Pasalnya, Presiden Pertama RI itu tidak hanya telah memberikan pekerjaan tapi juga penghidupan.

Ya, berkat Bung Karno, dan jauh setelahnya, ia bisa menyekolahkan empat orang anaknya.

Meski demikian, justru bukan pemberian materi yang membuat Arsilan begitu terkagum-kagum kepada Bung Karno.

Apa itu? Pelajaran tentang keikhlasan.

Dalam pandangan Arsilan, Bung Karno telah memberikan keteladanan tentang makna ikhlas lewat perjuangannya memerdekakan Indonesia.

Perjuangan si Bung Besar itulah yang kemudian memberikan inspirasi dalam kehidupan Arsilan.

Ada sebuah “mantra sakti” tentang keikhlasan yang menurut Arsilan terilhami oleh Bung Karno.

“Jika seseorang berjuang namun minta digaji, itu namanya kuli. Berjuang itu tidak mengharapkan gaji. Jikapun nanti mati, akan mati sabil (di jalan Tuhan).” (Habib/Intisari)

Editor : Moh. Habib Asyhad

Baca Lainnya

Latest