Di luar dugaan, Kolonel Tahir ternyata menyambut baik niat Herlina.
Gayung pun bersambut. Pada 23 Juni 1962, Panglima Mandala Mayjen Soeharto datang dari Jakarta untuk menghadiri rapat gabungan komando.
Setelah rapat, Herlina menghadap langsung Panglima Mandala dan mendapat izin untuk menyusup ke daratan Irian Barat bersama pasukan sukarelawan.
Demi melaksanakan misi penyusupan itu, ia berangkat ke Ambon untuk menemui Mayor Sunarto selaku koordinator Pos-Pos Terdepan yang berhadapan langsung dengan daratan Irian Barat.
Mayor Sunarto sempat ragu-ragu karena kehadiran seorang wanita di tengah pasukan tempur yang berbulan-bulan pisah dari keluarga ‘’bisa berbahaya’’.
Tapi setelah melalui berbagai pertimbangan, seperti adanya izin dari Panglima Mandala dan kemampuan ilmu komunikasi yang bisa dimanfaatkan di lapangan, Herlina dan rombongannya kemudian diizinkan masuk ke daratan Irian Barat.
Mereka menumpang kapal niaga yang telah dimiliterisasi, Kapal Berau meninggalkan Ambon menuju Soasio.
Setibanya di Soasio, Herlina berkumpul dengan rekan-rekannya yang berkiprah di redaksi Mingguan Karya untuk membahas rencananya menyusup ke Irian Barat.
Ia disambut baik oleh beberapa rekannya seperti Buce Sarpara, Saibi, dan Idris Yusuf yang kemudian turut serta dalam misi penyusupan .
Hamid rekan redaksi yang tidak ikut dalam penyusupan, bertanggung jawab terhadap kelangsungan penerbitan Mingguan Karya.
Setelah siap, Herlina dan rombongannya berangkat ke Pos Terdepan di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Maluku.
Pada saat itu Kolonel Laut Pamuji, Wakil Gubernur Irian Barat versi Indonesia pun turut serta.