Suar.ID -Ini adalah cerita tentang Herlina Kasim atau Sitti Rachmah Herlina.
Dia adalah salah satu pejuang Trikora yang mendapat julukan “Pending Emas”.
Yuk lebih jauh mengenal perempuan kelahiran Februari 1941 ini.
***
Dalam Operasi Trikora (1961-1963) yang digelar oleh pasukan ABRI (TNI) peran utama TNI AL untuk menyusupkan para sukarelawan sangat vital sekaligus merupakan peristiwa fenomenal.
Salah satu aktivitas penyusupan yang melibatkan kapal-kapal perang TNI AL dan menjadi peristiwa fenomenal adalah peristiwa penyusupan seorang pejuang wanita dalam Trikora, Herlina Kasim.
Sebelum terlibat dalam perjuangan untuk membebaskan Irian Barat (Papua), Herlina yang pada tahun 1961 lulus SMA berpetualang keliling Indonesia.
Ketika demam untuk membebaskan Irian Barat makin bergelora, posisinya saat itu sedang berada di Soasio, Tidore, Maluku Utara.
Sebagai remaja perempuan yang memiliki nasionalisme tinggi, ia juga sangat berminat untuk mengambil bagian dalam perjuangan membebaskan Irian Barat.
Selama berada di Soasio, Herlina mengekspresikan semangatnya untuk turut serta dalam Operasi Pembebasan Irian Barat dengan memberikan bimbingan kepada anak-anak dan penduduk setempat.
Bimbingan yang diberikan antara lain keterampilan baca tulis, berhias, cara berbusana, dan lainnya.
Kegiatan sosial Herlina kepada masyarakat di Soasio ternyata mendapat sambutan bagus dari pemerintah setempat dan mendapat fasilitas untuk pengembangan.
Kegiatan pun berkembang ke bidang penerbitan surat kabar berupa Mingguan Karya yang terbit di Soasio.
Meskipun masih dalam bentuk yang sederhana Mingguan Karya menjadi sarana yang sangat efektif untuk memberitakan peristiwa-peristiwa penting di seputar Soasio.
Berita tentang upaya Pemerintah RI untuk membebaskan Irian Barat baik secara militer maupun diplomatik, juga ditulis Herlina dalam Mingguan Karya.
Berita itu bahkan menjadi topik yang paling digemari oleh warga Soasio yang sebelumnya kurang antusias terhadap Operasi Trikora.
Padahal mereka tinggal di wilayah garis depan.
Berkat informasi itu warga Soasio menjadi bangkit dan bersemangat dalam perjuangan membebaskan Irian Barat.
Herlina yang memiliki semangat menyala-nyala untuk terjun langsung ke Irian Barat kemudian berlayar ke Makassar (Ujung Pandang) untuk menghadap langsung Panglima Komando Mandala, Mayjen Soeharto.
Pada 21 Juni 1962, ia tiba di Markas Komando Mandala diterima oleh Kepala Penerangan Mandala, Mayor Sayuti.
Sebagai aktivis perempuan yang sudah cukup dikenal, Mayor Sayuti sangat tertarik dan antusias terhadap semangat Herlina untuk terjun langsung ke dalam Operasi Trikora.
Namun dengan pertimbangan bahwa seorang wanita akan lebih mengalami tantangan di medan tempur yang masih liar. Mayor Sayuti tidak berani memberikan izin kepada Herlina.
Karena Herlina keras hati untuk terjun langsung dalam Operasi Pembebasan Irian Barat, Mayor Sayuti kemudian mempertemukannya dengan Kepala Staf Mandala, Kolonel Ahmad Tahir.
Di luar dugaan, Kolonel Tahir ternyata menyambut baik niat Herlina.
Gayung pun bersambut. Pada 23 Juni 1962, Panglima Mandala Mayjen Soeharto datang dari Jakarta untuk menghadiri rapat gabungan komando.
Setelah rapat, Herlina menghadap langsung Panglima Mandala dan mendapat izin untuk menyusup ke daratan Irian Barat bersama pasukan sukarelawan.
Demi melaksanakan misi penyusupan itu, ia berangkat ke Ambon untuk menemui Mayor Sunarto selaku koordinator Pos-Pos Terdepan yang berhadapan langsung dengan daratan Irian Barat.
Mayor Sunarto sempat ragu-ragu karena kehadiran seorang wanita di tengah pasukan tempur yang berbulan-bulan pisah dari keluarga ‘’bisa berbahaya’’.
Tapi setelah melalui berbagai pertimbangan, seperti adanya izin dari Panglima Mandala dan kemampuan ilmu komunikasi yang bisa dimanfaatkan di lapangan, Herlina dan rombongannya kemudian diizinkan masuk ke daratan Irian Barat.
Mereka menumpang kapal niaga yang telah dimiliterisasi, Kapal Berau meninggalkan Ambon menuju Soasio.
Setibanya di Soasio, Herlina berkumpul dengan rekan-rekannya yang berkiprah di redaksi Mingguan Karya untuk membahas rencananya menyusup ke Irian Barat.
Ia disambut baik oleh beberapa rekannya seperti Buce Sarpara, Saibi, dan Idris Yusuf yang kemudian turut serta dalam misi penyusupan .
Hamid rekan redaksi yang tidak ikut dalam penyusupan, bertanggung jawab terhadap kelangsungan penerbitan Mingguan Karya.
Setelah siap, Herlina dan rombongannya berangkat ke Pos Terdepan di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Maluku.
Pada saat itu Kolonel Laut Pamuji, Wakil Gubernur Irian Barat versi Indonesia pun turut serta.
Tiba di Pulau Gebe mereka diterima Komandan Pos 103, Lettu Krisno Jumar.
Selama di Pulau Gebe, kegiatan mereka mirip kegiatan di Soasio.
Yakni mengajari baca tulis kepada penduduk dan menyiapkan penerbitan surat kabar yang akan diterbitkan di Irian Barat untuk kepentingan propaganda.
Meskipun hanya berupa stensilan, surat kabar itu akan menjadi informasi serta penyemangat bagi pasukan yang sedang melancarkan perang ger ilya.
Setelah merampungkan semua persiapan, rombongan Herlina berangkat dengan perahhu motor bersama 16 pasukan tempur dari Pasukan Gerilya (PG) 300 di bawah pimpinan Theo menuju Pulau Waigeo, Raja Ampat, yeng terletak sekitar 65 km dari Halmahera.
Sesuai rencana setiba di Waigeo, mereka akan bergabung dengan WG 500 di bawah pimpinan Kapten Kumontoy.
Tapi perjalanan dari Pulau Gebe ke Waigeo terhambat cuaca buruk, sehingga rombongan harus berhenti dulu di pulau yang tersebar di sekitarnya, Pulau Kawe.
Setelah beberapa kali diterpa cuaca buruk, mereka akhirnya tiba di Pulau Waigeo dan kemudian bergabung dengan PG 5 00.
Pulau Waigeo merupakan pulau yang besar dan berhadapan langsung dengan daratan Irian Barat.
Dari posisi ini, serbuan militer atau penyusupan menuju ke beberapa tempat di daerah Kepala Burung mudah dijangkau.
Kegiatan kapal-kapal perang Belanda yang hilir mudik antara Biak-Sorong juga bisa diawasi dari pulau Waigeo dengan lebih leluasa.
Tapi keberadaan Herlina bersama pasukan PG 300 dan PG 500 di wilayah yang diklaim Belanda sebagai daerah kekuasaannya ternyata sudah tercium oleh militer Belanda.
Beberapa hari kemudian, Pulau Waigeo dibombardemen oleh meriam kapal-kapal perang Belanda.
Namun, karena mendapat persembunyian yang cukup baik, rombongan Herlina selamat dari aksi bombardemen itu.
Untuk beberapa lama, mereka serta pasukan PG 500 sementara masih bertahan di Waigeo sehingga kehabisan bekal makanan.
Demi bertahan hidup mereka memanfaatkan bahan makanan sekitar, seperti pohon sagu dan berburu ikan.
Keberadaan Herlina dan para rekannya di Waigeo berlangsung hingga tercapai persetujuan damai antara Indonesia dan Belanda mengenai Irian Barat di PBB, New York pada 15 Agustus 1962.
Tidak lama setelah itu menyusul pengumuman untuk penghentian permusuhan dan tembak menembak antara pasukan Indonesia dan Belanda.
Dalam kondisi gencatan senjata itu, semua gerilyawan yang berada di hutan-hutan Irian Barat secara berangsur-angsur ditarik ke perkotaan untuk konsolidasi.
Pasukan Gerilya 500 dan rombongan Herlina yang masih bertahan di Waigeo pun ditarik dan ditempatkan di Lam-Lam, Irian Barat.
Pada 25 Agustus 1962, Pulau Waigeo mulai dikosongkan dan rombongan Herlina bersama personel PG 500 pun dipindahkan ke Lam-Lam menggunakan perahu bermesin.
Kondisi kampung Lam-Lam yang akan menjadi markas ternyata kosong, hanya terdapat 15 rumah yang sangat sederhana.
Penduduk Lam-Lam sengaja meninggalkan kampungnya karena adanya hasutan, jika pasukan Indonesia masuk maka seluruh penduduk kampung akan dibantai.
Tetapi setelah penduduk kampung Lam-Lam dipulangkan dan diberi pengertian, mereka dan penduduk akhirnya bisa bekerjasama.
Mereka mulai mengadakan komunikasi dengan pasukan Belanda dan membahas masalah Irian Barat ke depannya.
Pasukan Belanda yang sering menemui Herlina dipimpin oleh Kapten Kumontoy.
Herlina dan Kapten Kumontoy yang lancar berbahasa Inggris dan Belanda dengan mudah berkomunikasi.
Kemudian diketahui bahwa untuk mengurus kepentingan para gerilyawan Indonesia akan ditangani PBB.
Dalam kondisi masih siaga dan waspada, Herlina dan para rekannya kemudian melakukan kegiatan untuk menumbuhkan semangat nasionalisme.
Salah satunya dengan mengajarkan menyanyi lagu Indonesia Raya bagi penduduk setempat.
Setelah beberapa lama beraktifitas di Lam-Lam, Herlina bersama rombongan dijemput pasukan PBB (UNTEA) yang didampingi oleh Lettu Wim Saleki, orang Ambon yang juga fasih berbahasa Belanda. Tapi pasukan UNTEA yang kebanyakan orang Pakistan hanya mahir berbahasa Inggris.
Kehadiran Herlina yang juga lancar berbahasa Inggris menjadi jembatan penghubung bagi mereka.
Kapten Kumontoy pun menyetujui, rombongan Herlina berangkat terlebih dahulu bersama pasukan PBB menuju Sorong dengan menggunakan kapal pendarat tank (LST).
Di Sorong Herlina ternyata bisa berperan makin luas terutama dengan para pejabat PBB sehingga mempercepat proses pengembalian Irian Jaya ke pangkuan NKRI.