Di luar mereka, tentu sangat banyak orang lagi. Seorang petugas di Sub-bagian Radiologi Instalasi Radionuklir yang dikepalai dr. Terawan memberi gambaran, minimal pasien lima orang perhari, dan itu berlangsung Senin hingga Jumat, 2007.
Langkah pertama setelah saya mendaftar adalah mencari jadwal Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk mendapat gambaran kondisi otak dan pembuluh-pembuluh darahnya. Saya mendapat jadwal dua hari kemudian.
Pemindai magnetik itu terbilang paling canggih di Indonesia karena selain diameter lorongnya 75 cm (pemindai di RS lain hanya 60 cm), juga tidak memerlukan cairan kontras yang disuntikkan ke badan pasien untuk melihat perfusi.
Untuk pertama kalinya saya masuk ke lorong di tengah lingkaran berdaya magnetik tinggi itu – karenanya saya harus menanggalkan semua materi logam dari badan.
Kepala tidak boleh bergerak. Kedua telinga dipasangi earphone yang memperdengarkan lagu dalam volume tinggi meski sesekali kalah keras oleh pemindaian yang mengeluarkan aneka bunyi – seperti suara palu, tanda alarm, bunyi mesin, dsb.
Saya tidak mau gagal mendapat hasil lengkap pemindaian otak, lagi pula saya bukan pengidap klaustrofobia (fobia ruang sempit). Saya yakin bahwa MRI, alat temuan Paul Lauterbur dan Sir Peter Mansfield yang membuahkan Hadiah Nobel Kedokteran tahun 2003 bagi keduanya, itu adalah langkah akurat bagi diagnosis otak saya.
Tiga puluh menit berlalu dan operator mengeluarkan saya dari mesin sempit di ruangan dingin itu.
Sambil menunggu hasilnya, saya menjalani tes darah dan urine. Juga EKG dan foto Rontgen. Tak lama kemudian saya dibawa ke ruangan Kolonel CKM dr. Tugas Ratmono, Sp.S., ahli neurologi anggota tim dr. Terawan.
Menjalani tes keseimbangan dan mendapat penjelasan dari foto otak saya. Otak kiri dan kanan masih seimbang, proses aliran darah masuk (arteri) juga lancar namun arus baliknya (vena) ada hambatan.
“Ini biasa terjadi pada bangsa Asia,” kata dr. Tugas. Pada otak saya, tidak ada kelainan kimiawi meski sistem kelistrikan ada hambatan.
Darah dari dan ke otak mengalir melalui empat pembuluh utama. Dua di depan disebut pembuluh darah karotis, dan dua di belakang disebut pembuluh vetebral. Kemudian terjadi percabangan hingga pembuluh-pembuluh lembut di otak.
“Nah, efek obat pereda pening hanya sampai di sini,” kata dr. Tugas sambil menunjuk empat pembuluh besar dalam foto negatif hasil MRI saya. Ia lalu menunjuk sebuah titik kecil berwarna terang di belahan otak kanan, yang oleh mata biasa mungkin tak berarti apa-apa.