Satu-satunya potensi ia tertular adalah dari suami pertamanya yang sudah meninggal dunia pada Agustus 2008 lalu.
Dari cerita Anik, sebelum meninggal, suaminya sering keluar masuk rumah sakit. Saat itu, sang suami didiagnosis menderita sakit paru-paru.
Pada kurun 2006 – 2007, suaminya sering opname di sebuah rumah sakit swasta di Semarang.
Saat perawatan di Klaten, selain sakit paru-paru, suami Anik juga didiagnosis terserang kondiloma. Namun hingga akhir hayatnya, dia tak pernah didiagnosis HIV/AIDS.
Bagaimana mau mendiagnosis, wong sang suami tidak pernah ikut tes VCT.
“Dulu suami bekera di Cilegon, sering dapat job keluar kota juga,”ujar Anik kepad Tribun Jateng.
Sebagai seorang istri yang baik, Anik tidak pernah menaruh curiga kepada sang suami. Ia sama sekali tidak menyangka jika dirinya terinveksi HIV/AIDS dari suami pertamanya itu.
Setelah divonis, secara psikologis Anik benar-benar drop, hancur. Selama berminggu-minggu, ia hanya bisa meratapi nasibnya.
Selain ajal, ia juga selalu terbayang bagaimana nasib dan masa depan anak semata wayangnya nanti.
Orang yang pertama tahu bahwa Anik divonis HIV/AIDS adalah ibunya, karena waktu VCT dokter meminta agar ada keluarga untuk diberi pengertian.
Setelah lama terpuruk, ia mulai berani memberi tahu sahabat-sahabatnya sesama guru di sekolah tempatnya mengajar. Ia sadar bahwa selamanya mengurung diri tidak bisa memecahkan masalah.