Suar.ID -Kekejaman teror kelompok separatis pimpinan Ali Kalora kembali terjadi di Desa Salubanga, Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong, Jumat (13/12/2019).
Kelompok separatis yang menamakan diri mereka Mujahidin Indonesia Timur atau MIT itu tiba-tiba menyerang personel Operasi Tinombala dan warga desa setempat.
Akibatnya, seorang anggota Brimob bernama Bharatu Mohammad Syaiful Modori gugur saat baku tembak dengan kelompok MIT.
Melansir dari Kompas.com, Syaiful merupakan personel Kompi III A Pelopor Sat. Brimob Polda Sulteng.
Syaiful tertembak usai menunaikan Salat Jumat berjamaah dengan warga pada Jumat (13/12/2019) sekitar pukul 12.30 Wita.
Lokasi kontak senjata terjadi berjarak kurang lebih 50 meter dari pos sekat Alfa 16, tempat Syaiful bertugas.
Jenazah anggota Satgas Tinombala dievakuasi ke Palu pada Jumat (13/12/2019) malam.
Jenazah Syaiful tiba di Polsek Sausu sekitar pukul 20.40 WITA dan dikawal sejumlah personel bersenjata lengkap.
Dari Polsek Sausu, jenazah dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sulteng untuk dilakukan proses visum.
"Dari hasil identifikasi setelah jenazah tiba di RS Bhayangkara korban tertembak di bagian punggung dan perut," ungkap Irjen Lukman Wahyu Hariyanto di RS Bhayangkara Palu, Sabtu (14/12/2019).
Syaiful mendapatkan kenaikan pangkat luar biasa satu tingkat dari Bharatu menjadi Bharaka Polisi.
Jenazah Syaiful akan dimakamkan di kampung halamannya, Pandeglang, Banten.
Melansir Antara, upacara pemberangkatan jenazah Syaiful dipimpin oleh Kapolda Sulteng Irjen Pol Lukman Wakyu Hariyanto.
Kapolda sempat menyampaikan rasa belasungkawanya.
"Atas nama pimpinan, selaku Kapolda Sulawesi Tengah menyampaikan duka cita mendalam kepada adik kita, rekan kita, sahabat kita Almarhum Bharaka Anumerta Mohammad Syaiful Muhdori yang gugur dalam menjalankan tugas operasi Tinombala," ucapnya
Polisi masih terus memburu para pelaku teror.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Argo Yuwono membenarkan, kelompok DPO MIT Poso menyerang anggota dan warga saat selesai salat Jumat.
Usai penembakan, pelaku melarikan diri dan berpencar Tiga oran, berlari ke arah SD Salubanga.
Sedangkan sisanya berlari ke arah mushola.
Beberapa saat kemudian kembali terjadi penyerangan.
Tak hanya melepas tembakan ke arah pos polisi, pelaku sempat menyandera anggota pos itu.
"Pelaku sempat menyandera warga serta anggota Pos Sekat yang pulang dari salat Jumat namun anggota Pos Sekat sempat melarikan diri," ujar Argo.
Sejam kemudian bala bantuan datang.
Ia belum dapat memastikan apakah ada korban lain selain Syaiful.
Profil Ali Kalora Pemimpin Mujahidin Indonesia Timur (MIT)
Mengutip dari Wikipedia,Ali Kalora merupakan seorang militan Islam Indonesia dan merupakan pemimpinMujahidin Indonesia Timur (MIT) menggantikan Santoso.
Ali Kalora dan kelompoknya diduga bersembunyi di hutan belantara di sekitar Kabupaten Poso dan Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.
Setelah Santoso tewas pada tanggal 18 Juli 2016, dirinya diduga menggantikan posisi Santoso sebagai pemimpin di kelompok MIT bersama dengan Basri.
Setelah Basri ditangkap oleh Satgas Tinombala, Mantan Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian menetapkan Ali Kalora sebagai target utama dari Operasi Tinombala.
Ali Kalora lahir di Desa Kalora, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Poso.
Ia memiliki seorang istri yang bernama Tini Susanti Kaduka, alias Umi Farel.
Nama "Kalora" dalamnamanya, diambil dari desa tempatnya dilahirkan, sehingga nama Ali Kalora seringkali digunakan di media massa.
Ali Kalora merupakan salah satu pengikut senior Santoso di kelompok Mujahidin Indonesia Timur.
Setelah kematian Daeng Koro—salah satu figur utama dalam kelompok MIT, Ali dipercayakan untuk memimpin sebagian kelompok teroris yang sebelumnya dipimpin oleh Daeng Koro.
Faktor kedekatannya dengan Santoso dan kemampuannya dalam mengenal medan gerilya membuat ia diangkat menjadi pemimpin.
Peneliti di bidang terorisme intelijen dari Universitas Indonesia, Ridwan Habib, berpendapat bahwa Ali Kalora adalah sosok penunjuk arah dan jalan di pegunungan dan hutan Poso.
Ini karena Ali merupakan warga asli dari Desa Kalora, Poso, sehingga dirinya diyakini telah menguasai wilayah tempat tinggalnya.
Menurut Kapolda Sulawesi Tengah saat itu, Brigjen Pol, Rudy Sufahriadi, Ali Kalora adalah sosok radikal senior di kalangan gerilyawan di Poso.
Ia menyebut bahwa Ali Kalora berpotensi menjadi "Santoso baru" karena latar belakang pengalamannya yang cukup senior.
Meski demikian, ia yakin kekuatan gerilya di bawah kepemimpinannya tidak akan sebegitu merepotkan dibandingkan Santoso.
Mantan Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian menilai bahwa Ali tidak memiliki kemampuan kepemimpinan yang sama dengan Santoso dan Basri, begitu pula dengan spesialisasi dan militansi.
Di sisi lain, Peneliti The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya, sempat membeberkan beberapa informasi tentang kelompok Ali Kalora.
Menurut informasi, kelompok Ali Kalora hanya terdiri dari 10 orang, namun mereka memiliki militansi dan daya survival tinggi.
Mereka mampu bertahan hidup di hutan dengan berburu ditambah sokongan logistik dari para simpatisan yang bermukim di bawah pegunungan Poso.
Harits menjelaskan, mutilasi RB (34), warga Desa Salubanga, Parimo, Sulawesi Tengah, pada 28 Desember 2018, kemudian disusul penembakan atas dua anggota kepolisian pada 31 Desember 2018 lalu, memberikan pesan bahwa kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) masih eksis.
Tak menyoal pimpinan terdahulunya Santoso tewas, kemudian penerusnya Basri juga tertangkap, kelompok yang kini dipimpin eks anak buah Santoso, Ali Kalora, itu masih bisa leluasa bergerilya di pegunungan tropis Poso.
Belum diketahui pasti dari mana sumber persenjataan mereka.
Harits Abu Ulya menilai, penanganan Ali Kalora, dkk oleh aparat keamanan Indonesia terkesan berlarut-larut.
Seharusnya, aparat keamanan langsung sigap menuntaskan riak sekecil apa pun yang ditimbulkan Ali cs.
"Usulan saya, kalau memang mau ingin cepat tuntas dengan pendekatan keamanan yang kini jadi pilihan dominan, maka seharusnya kirim saja pasukan TNI dari unit Raider atau Kopassus untuk memburu Ali Kalora dan kawan-kawannya, selesai," ujar Haritsmelansir dari Kompas.com, Kamis (3/1/2019).
Bahkan, semestinya setelah sukses melumpuhkan Santoso dan Basri, Operasi Tinombala tidak dihentikan hingga seluruh generasi penerusnya ditangkap habis.
Harits melanjutkan, Ali Kalora cs. memang sudah lama bergerilya di pegunungan Poso.
Mereka pun hampir pasti menguasai medan di sana.
Namun, melihat pola serangan Ali Kalora yang hit and run, dapat dipastikan ketersediaan amunisi mereka tidak terlalu banyak.
Harits mengatakan, ini dapat menjadi celah bagi aparat keamanan untuk terus memukul mundur dan memaksa mereka menyerah.
Apalagi, jika keputusan menurunkan pasukan elite TNI Angkatan Darat (AD) tersebut ditambah dengan memutus suplai logistik ke kelompok mereka dari para simpatisan, Harits yakin eksistensi Ali Kalora cs akan terhenti.
"Ketahanan eksistensi mereka sangat bergantung kepada suplai logistik. Suplai ini bisa saja didapat dari simpatisan atau jejaring mereka di bawah," ujar Harits.
TNI-Polri juga dinilai jauh lebih unggul dari sisi jumlah personel, logistik, alat utama sistem persenjataan (alutsista), dan pengetahuan di bidang strategi tempur, terutama pertempuran teknik gerilya di hutan.
"Jadi, memang ini memerlukan keputusan politik yang tegas, agar tidak berlarut-larut dan Operasi Tinombala juga tidak berlangsung berjilid-jilid.
Ingat, operasi militer terlalu lama itu juga dapat kontra produktif terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan psikologi masyarakat," lanjut dia.
(Putra Dewangga Candra Seta/Surya)
Artikel ini telah tayang di Surya dengan judulBiodata Ali Kalora, Pimpinan Kelompok Separatis MIT yang Tembak Anggota Brimob Setelah Salat Jumat