"Saya penuh kasih sayang, saya senang disayangi, dan tentunya saya menyayangi Allah tercinta. Jadi, tidak, saya tidak berniat menjadi kontroversial," kata amina.
"Namun, saya memahami bahwa aspek-aspek tertentu [seperti] kesejahteraan manusia harga diri, keadilan, rasa hormat, saling timbal balik, adalah hal-hal tanpa syarat. Jika Anda memberikan syarat pada wanita atau non-biner untuk mendapatkan keutuhan diri sebagai manusia, saya cenderung teguh pada pendirian saya sebagai oposisi akan hal itu," jelas ia.
Meski motivasi amina di balik penulisan Quran and Woman sarat akan nilai kesetaraan gender, ia mengaku kala itu tidak memandang dirinya sebagai seorang feminis.
Dia bahkan cenderung menolak label tersebut.
Begitu pun ketika ia memimpin ibadah shalat Jumat.
"Saya merasa tidak memerlukan hal lain selain Islam dan terus berkembang, belajar, dan memeluk Islam," kata amina.
Ia baru menyambut istilah feminis pada 2009, dalam sebuah peluncuran pergerakan global Muslim untuk kesetaraan dan keadilan bernama Musawah.
Di dunia akademis, amina wadud mendapatkan gelar Professor Emeritus Ilmu Islam dari Virginia Commonwealth University di mana ia mengajar sejak tahun 1992.
Meski telah pensiun 16 tahun lalu, amina kini mengajar sebagai profesor tamu di beberapa universitas di Indonesia, termasuk Universitas Gajah Mada dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Terlepas dari kegiatan mengajar, amina mengaku menikmati tinggal di Indonesia dan memutuskan untuk menetap di Yogyakarta.
"Saya cinta Indonesia, ini negara favorit saya," kata amina.
"Saya merasa lekat secara emosional terkait perkembangan saya sebagai seorang wanita Muslim selama saya tinggal di Asia Tenggara. Lucunya, ketika saya melakukan tes DNA, saya pikir mungkin saya punya darah Asia. (Ternyata) tidak sama sekali!" tutur amina.