Selama tinggal di Yogyakarta, kebutuhan akademik maupun non-akademik amina dibantu oleh seorang asisten, yang merupakan mahasiswa S3 dari UGM, Maurisa Zinira.
"Ibu Amina walaupun dari Amerika, tapi terkadang seperti orang Jawa. Karena suka merasa tidak enakan [dalam meminta tolong]," kata Maurisa.
"Misalnya lagi repot sekali, beliau akan minta maaf berkali-kali. Padahal saya senang-senang saja. Saya selalu bilang 'Bu, saya mengagumimu sejak di bangku S1, menjadi asisten Anda adalah berkah buat saya'," katanya lagi.
Maurisa saat ini tengah melakukan penelitian untuk disertasi programnya mengenai perempuan yang pernah berafiliasi dengan organisasi Islam terlarang; apa yang menjadi motivasi mereka bertahan di lingkungan yang tidak menguntungkan bagi perempuan.
"Sedikit-sedikit [saya] dikoreksi. 'Kamu kok bias?'," kata Maurisa menceritakan bagaimana amina tetap kritis akan penelitiannya meski bukan dosen pembimbingnya.
"Ibu amina itu [rasa keadilan] gendernya kuat sekali. Tapi walaupun begitu, beliau ingin saya tidak bias [dalam menilai]," lanjut Maurisa.
Saat ini, amina tengah mengambil periode sabbatical atau cuti panjang dari mengajar.
Meski demikian, pada 14 Februari lalu, amina meluncurkan sebuah inisiatif global bernama QIST, singkatan dari Queer Islamic Studies and Theology.
Hingga sekarang, amina masih mempraktikan meditasi.
Ia juga menggunakan meja yang BBC lihat di rumahnya sebagai altar untuk memajang benda-benda yang melambangkan kehidupannya dan energi yang ia ingin datangkan.
Kepada BBC, amina mengatakan bahwa ia telah mempersilakan dirinya untuk merangkul warisan spiritual masa lalunya.
Ia juga memandang dirinya sebagai Muslim eklektik, yang berarti percampuran berbagai hal.