"Budaya Suro bisa dianggap bulan spiritual sehingga waktunya untuk ibadah dan membersihkan dari sifat, sikap, watak nafsu angkara, aluamah, sufiyah, mutmainah, dan bisa dianggap sebagai bulan rehat dan refleksi renungan."
"Bukan untuk membuat hajat yang berdampak pada pengeluaran keuangan terlalu banyak," jelas Han Gagas.
Artinya, di bulan spiritual ini sebaiknya masyarakat memanfaatkannya untuk lebih memaknai hidup dan tidak mengutamakan keduniawian.
Seperti beribadah, merehatkan diri dari hingar-bingar dunia, atau merenungkan kehidupan agar berjalan lebih baik.
Sementara itu, menggelar pernikahan atau jenis hajatan lainnya hanya akan mendorong seseorang mengeluarkan biaya yang banyak.
Tidak hanya bagi yang menggelar hajatan, tetapi juga bagi para tamu undangan yang hadir dalam acara tersebut.
Oleh sebab itu, di bulan Muharram, masyarakat bisa 'beristirahat' dari pengeluaran biaya untuk hajatan yang biasanya tak sedikit.
Han Gagas menyebut bulan Suro ini sebagai 'let' atau jeda bagi orang-orang agar tidak terlalu boros dalam membelanjakan uangnya untuk hajatan.
"Jika terlalu banyak hajatan yang kudu nyumbang (memberi sumbangan), nanti kasihan bisa buat banyak yang marah atau terlalu ngoyo kerja buat nyumbang, itu bisa buat aura negatif."
Nah, ternyata begitu hikmah di balik mitos larangan menggelar hajatan pernikahan di bulan Suro. Bijaksana sekali ya?