Ini mungkin cermin dari dinamis jiwanya. Dinamik pemuda itu di Jakarta disalurkan pada kehidupan organisasi. Ia memasuki Persatuan Timur Muda. Anggotanya dari aneka macam golongan termasuk keturunan Arab dan Tionghoa. Katanya, “Sejak dulu saya menentang rasialisme.”
Ia berkenalan dengan Wikana pemimpin Gerindo. Kenal pula dengan Amir Sjarifudin SH. “Besar pengaruhnya terhadap saya. Ia seorang intelektual yagn militan, yang mengintegrasikan diri dengan massa rakyat. Pejuang gigih melawan fasisme. Berwibawa dan berwatak.”
Resmi menjadi anggota partai komunis pada zaman Jepang. Perantaranya, Widarta. Terjadi pada Juli 1943, umurnya waktu itu 20 tahun.
Mengapa? Karena PKI menentang fasisme Jepang secara konsekuen. Ia pun turut memimpin Gerakan Indonesia Merdeka, suatu gerakan di bawah tanah bersama Chairul Saleh, Sidik Kertapati, Lukman.
Gedung Menteg 31 memainkan sejarah penting. Di situ tempat institut pendidikan politik Angkatan Baru Indonesia dalam zaman Jepang. Direkturnya Wikana.
Guru-gurunya tokoh-tokoh pergerakan Bung Karno, Hatta, Syahrir, Moh. Yamin, Soebarjo, Iwa Kusumasumantri. Pelajaran yang diberikan Hukum, Filsafat, Sosiologi, Sejarah Politik, Ekonomi.
“Di situlah saya mendapat pendidikan politik yang lebih sistematis,” sambungnya. Ditambahkannya pula sejak saat itu ia mengenal perbedaan Soekarno dan Hatta.
Bung Karno seorang intelektual yang mengintegrasikan diri dengan massa rakyat yang percaya akan massa aksi. Dengan indoktrinasi dan agitasi menerapkan ide-ide ilmiah kepada massa.
Pada tanggal 15 Agustus 1945 itu dari seorang wanita Indo, Aidit mendengar berita Jepang sudah kalah. Sore harinya di gedung Menteng 31 berkumpul kira-kira 13 pemuda dipimpin oleh Chairul Saleh. Serentak semuanya sepakat: Sekarang juga merdeka!
Untuk itu dibutuhkan pimpinan, kalau tidak akan terjadi kekacauan. Juga harus dijaga jangan sampai pemimpin-pemimpin yang patriotik diserahkan sebagai inventaris Jepang kepada Sekutu.
Empat pemuda diutus rapat menghadap Bung Karno. Suroto Kunto, D.N. Aidit, Subadio Sastrosatomo, dan Wikana, yang bertindak sebagai juru bicara.
Mula-mula terjadi perbedaan paham akhirnya tiba juga saatnya 17 Agustus 1945 jam 10 pagi di gedung Pegangsaan Timur 17, proklamasi kemerdekaan.