Suar.ID -Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Kerja 2014-2019 sekaligus pendiri Susi Air, menyebut pandemi Corona atau Covid-19 telah memberi situasi tersulit bagi bisnisnya.
Sulitnya situasi ini sampai membuat Susi khawatir Susi Air bisa berujung bangkrutkarena arus kas yang tidak lagi seimbang atau defisit.
"Kami bertahan tutup banyak cabang, rumahkan karyawan, kemudian kalau tidak kembali kan harus shutdown total, ya give up atau dalam UU kepailitan kami harus menyatakan pailit," kata Susi dalam diskusi virtual di akun Youtube Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jumat (12/6/2020).
Susi mengatakan, akibat imbas pandemi sudah 2 bulan maskapai perintis miliknya itu tidak beroperasi.
Bahkan ia menyebutkan, "hampir 99 persen penerbangannya berhenti."
Di sisi lain, di masa-masa itu Susi tetap harus membayar gaji karyawannya, membayar sewa tempat, termasuk kewajiban kepada perbankan.
Situasi semakin sulit lantaran ia juga terbebani oleh sederet kewajiban pada pemerintah yang tetap harus dibayar di tengah pandemi.
Antara lain, perpanjangan izin pilot, izin kerja, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sampai surat untuk security clearance.
Bagi Susi, kondisi saat ini menakutkan dan kondisi tersulit dalam hidupnya.
"Ada surat-surat yang harus diperpanjang setiap tahun, STNK, surat pilot kan harus diurus, security clearance juga harus dijalankan, ini semua kan beban tetapi penerbangan tidak ada."
"Di sisi lain, kalau mau terbang juga harus siap."
"Ini kondisi tersulit dalam hidup saya bekerja," kata Susi.
Bagi Susi, sejumlah strategi yang diambil oleh pengusaha tidak akan membuat situasi membaik di tengah pandemi Covid-19.
"Tetapi kita bertahan dengan menutup banyak cabang, merumahkan banyak karyawan. Jika tidak kembali, ya kita harus dalam UU kepailitan harus menyatakan pailit atau tutup," katanya.
Hanya saja, Susi menerangkan, menjual aset di tengah situasi pandemi Covid-19 saat ini tidak mudah.
"Sangat tidak pasti," ujarnya.
Susi lantas mempersoalkan kebijakan pemerintah yang mendenda maskapai perintis bila tidak terbang di kala normal.
Sebaliknya saat penerbangan ditutup dan maskapainya tidak bisa terbang beberapa bulan lalu, Susi mengaku tak mendapat pedoman yang jelas dari pemerintah.
"Saya bukan minta kompensasi, tapi at least kewajiban kita yang rutin digratiskan dulu," ucap Susi.
Susi mengatakan usulannya untuk memperoleh keringanan itu layak dipertimbangkan, sebab saat ini perusahaannya sudah tidak lagi memiliki pendapatan atau zero income.
Meski belum lama ini penerbangan dibuka, Susi menyebut kondisi itu tetap tidak menutup pengeluaran perusahaan.
Saat ini, Susi Air hanya terbang kurang dari 2 persen dari kapasitas maksimal saat normal.
Salah satunya terbang menuju Jakarta untuk keperluan pengiriman logistik.
Susi memperkirakan penerbangan baru bisa naik 50 persen pada 2021.
"Saya belum mau bilang menyedihkan tapi kondisi ini menakutkan."
"Tidak bisa terbang kan ini bukan intensi kami,"
"Kalau tidak ada penerbangan di saat normal kan biasanya didenda, tapi kalau sekarang kami tidak bisa apa-apa," ujar Susi.
Usulan terakhir yang disampaikan Susi juga terkait peninjauan ulang syarat terbang berupa tes polymerase chain reaction (PCR).
Menurut Susi kebijakan itu mustahil diterapkan dan malah akan membuat sama sekali tidak ada orang yang terbang.
"Bagaimana saya kemarin dengan PCR?"
"Kalau masyarakat mau terbang saya lihat itu tidak mungkin di daerah (tes) PCR. Impossible," ucap Susi.
(tribun network/lrs/dod)