Para dokter tidak mampu berbuat banyak lantaran mayoritas dari mereka belum pernah melihat gejala penyakit seperti itu.
Mereka hanya bisa merekomendasikan kina dan aspirin untuk menurunkan panas sang pasien.
MenurutKoloniaal Weekblad(1919), masing-masing dokter di Makassar harus bertanggungjawab terhadap nasib 800 pasien.
Saking frustasinya, dalam sebuah rapat regional di Rembang, Dr. Deggeler sampai menyatakan bahwa tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakit itu, selain amal baik seseorang.
Gelombang kedua Flu Spanyol terjadi pada Oktober-Desember 1918 meski di beberapa tempat, terutama di kawasan timur, berlangsung hingga akhir Januari 1919.
Pewarta Soerabaiamelaporkan, virus masih mengganas di Buton pada awal Januari 1919.
Kasus kematian juga terjadi di beberapa perkebunan di Sumatera, yang dilaporkanHarian Andalas.
Sin Po menyebutkan Flu Spanyol membuat beberapa perkebunan di Jawa Barat menderita.
Sebanyak 200 pekerja di Wanasukan terinfeksi pandemi sehingga tidak dapat bekerja.
Kondisi serupa terjadi di Talun yang mengakibatkan produksi kopi terhambat.