Kondisi jemaah calon haji dalam kapal sangat memprihatinkan karena mereka menggunakan kapal barang (kargo) bukan kapal penumpang.
Jemaah calon haji diberikan tempat khusus dalam ruang gudang (palka) dengan masing-masing berukuran 1-1,5 meter persegi.
Ratusan jemaah yang ditampung dalam satu kapal berdesak-desakan.
Penyediaan makanan dalam kapal terkadang juga menemui kendala. Selain makanan dicuri oleh tukang masak, ada juga jemaah yang tidak mendapatkan makanan.
Oleh karena itu, banyak yang mengambil inisiatif masak sendiri.
Selain soal makanan, kondisi di lautan juga berpengaruh terhadap calon haji. Risiko karam dan serangan perompak menjadi hal yang ditakutkan jemaah.
Pada 1893, kapal samoa yang dikontrak salah satu penyelenggara haji di Hindia Belanda, firma Herklots membawa 3.600 jemaah dan melebihi kapasitas kapal.
Akibatnya, ketika badai menyerang, barang di atas kapal porak poranda dan 100 orang dinyatakan meninggal.
Setibanya di Tanah Suci, para jemaah juga menghadapi ancaman terjangkit wabah kolera.
Saat itu, banyak jemaah calon haji yang meninggal dunia karena minimnya antisipasi petugas kesehatan.
Akhirnya, diadakan karantina jemaah haji agar kesehatan jemaah lebih terjaga.
Pada 1903, karantina dikelola oleh tim Turki, Inggris, Perancis, dan Belanda yang tergabung dalam Internationale Gezondheidsraad bermarkas di Iskandariah, Turki.