Henru Chambert-Loir pernah menulis secara khusus ibadah haji zaman kolonial dalam buku babonnyaNaik Haji di Masa Silam Tahun 1482-1890.
Dalam buku itu dia menulis, Gubernur Jenderal Daendles menetapkan, demi keamanan dan ketertiban, para jemaah haji harus mengantongi dokumen perjalanan selama bepergian ke Tanah Suci.
Pada 1825, calon haji harus membeli sebuah paspor dengan harga 110 gulden di Kantor Bupati. Angka ini termasuk mahal pada masa itu.
Sementara, secara tak resmi, Bupati ditugaskan untuk memperlambat arus haji.
Pada 1859, kebijakan kolonial berubah lagi.
Jemaah calon haji yang akan bertolak ke Tanah Suci harus melapor kepada bupati terkait dan menunjukkan uang yang cukup untuk membiayai perjalanan dan kehidupan keluarganya di rumah.
Hal itu menjadi syarat untuk mendapatkan paspor.
Syarat kedua, setelah jemaah haji kembali, ia harus menghadap Bupati lagi untuk menunjukkan bahwa dirinya telah ke Mekkah.
Jika tidak, akan dikenakan denda sebesar 25-100 gulden dan tidak diperbolehkan menyandang gelar haji.
Akan tetapi, kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh kolonial ini seringkali tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Calon jemaah haji kadang diberikan kelonggaran.
Perjalanan laut
Pada masa ini, berlayar dari Indonesia menuju Arab Saudi membutuhkan waktu sekitar enam bulan.