Sebab, pada bulan peak season Agustus-September, umumnya Garuda Indonesia memang selalu untung dari penerbangan internasional.
Rata-rata pada bulan peak season itu, load factor Garuda mencapai 87 persen dibandingkan dengan 55-60 persen pada bulan-bulan lain.
Dari pendapatan jalur internasional kedua bulan tersebut, bila dikurskan dengan nilai dollar yang sedang meroket (waktu itu), laba Garuda memang jadi lumayan besar sampai Rp 200 miliar.
Namun, diingatkan pada bulan low season, load factor Garuda hanya berkisar 40-55 persen sehingga angka musim peak season bukanlah patokan.
Diakuinya bahwa dirinya bukanlah pesulap yang dapat mengubah Garuda langsung meraup untung seketika.
Keberanian juga dibutuhkan untuk menghadapi kreditur.
Sebagai bankir, Robby tahu caranya memperlakukan debitur-debitur saat mengalami kesulitan membayar.
Dengan Emirsyah Satar, direktur keuangannya yang juga seorang bankir, dia berangkat ke London untuk berbicara dengan Bank Exim negara-negara Eropa.
"Benar saja, mereka langsung menggebrak, mengintimidasi dengan suara keras, dan mengancam akan menyita pesawat A330 yang disewa," tulis Rhenald.
Dengan tenang, Robby menjawab, “Saya datang bukan untuk memecahkan masalah saya tapi masalah Anda. Alasan utama mengapa Garuda kolaps adalah karena bank-bank internasional memberikan pinjaman kepada Garuda yang neraca keuangannya defisit. Dari pengalaman saya selama 30 tahun di bank, saya tidak dapat memahami itu. Dan jika Anda ingin mengambil kembali pesawat Anda, silakan lakukan karena tidak produktif bagi kami.”