“Tidak ada yang bisa membunuhku. Tidak akan pernah,” kata Castro.
Ia benar. Lorenz tidak melakukannya, bahkan membuang kedua pil itu bidet.
Lorenz bilang tidak akan pernah lagi merencanakan pembunuhan untuk ayah dari anaknya yang hilang itu.
Mereka kemudian bercinta, Castro cabut, Lorenz kembali ke Amerika Serikat.
Kembali ke Amerika, Lorenz kembali berurusan dengan FBI lagi—dan Sturgis—dan terlibat dengan orang-orang Kuba anti-Castro di Florida.
Lorenz kemudian bekerja sebagai mengirim senjata dan kurir untuk CIA di Everglades—menguji M16 dan tinggal di hotel bersama para pemberontak—dalam persiapan invasi Teluk Babi.
Misi itu dimaksudkan untuk menggulingkan Castro tapi berakhir dengan rasa malu untuk Amerika Serikat.
Alih-alih menggulingkan, gagalnya invasi justru semakin meningkatkan kadar kebencian kelompok anti-Castro kepada John F. Kennedy, yang dianggap telah mengabaikan mereka saat invasi berlangsung.
Setelah kegagalan itu, Lorenz segera dikirim untuk mengumpulkan dana dari seorang “pensiunan jenderal” untuk kepentingan kelompok anti-Castro.
Ia adalah Marcos Perez Jimenez, salah satu diktator Amerika Tengah yang paling represif pada abad ke-20, yang telah memimpin rezim Venezuela yang brutal, yang sedang tinggal di Miami.
Perez terpikat dengan pesona Lorenz dan mengajaknya untuk sekadar minum anggur. Perez terus menggoda tapi Lorenz terus menolak, tapi tidak berlangsung lama.
“(Berhubungan) seks dengannya tidak istimewa dan tidak enak,” tulis Lorenz.