Castro memanggil Lorenz dengan sebutan “Alemanita”—Si Jerman Keci—dan begitu kembali ke Amerika, Castro mengirim pesawat pribadi untuk menjemputnya.
Lorenz kemudian tinggal di Kuba selama tujuh bulan, di pondokannya di Havana Hilton.
“Ia kekasih yang baik, penolong yang baik,” kenang Lorenz, kepada New York Post. “Ia suka menggenggam tangan dan memeluk erat-erat.”
Tak lama kemudian, Lorenz hamil, dan Castro sangat bahagia. Tapi saat usia kehamilannya menginjak tujuh bulan, sementara Castro dalam perjalanan, ia yakin ada seseorang yang memasukkan obat ke susu yang ia minum.
Dan ketika ia terbangun, bayinya sudah “hilang”, dan ia sendirian di sebuah kamar hotel yang gelap. Ia linglung.
Ia memutuskan kembali ke Amerika dan marah kepada Castro karena kehilangan anaknya.
Ia sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada bayinya—entah dilahirkan paksa atau digugurkan.
FBI lalu mengunjunginya, dan memanfaatkan kemarahannya untuk keuntungan mereka.
Seorang agen bernama Frank Sturgis, yang ia temui di Kuba (seorang mata-mata yang ditangkap saat ramai-ramai Watergate), merekrutnya untuk ambil bagian dalam sebuah rencana untuk membunuh mantan kekasihnya itu.
Ia dikirim kembali ke Kuba untuk berbaikan dengan Castro. Ia dibekali dua pil khusus yang diklaim bisa membunuh Sang Comandante dalam dua jam.
Tapi sial. Saat Lorenz sampai ke Kuba, Castro tahu kenapa ia kembali.
Dengan cara yang dramatis, Castro mencabut pistolnya dari sarungnya dan memberikan kepadanya, dengan sinis.