Dari setiap anak, Lailatul mendapat honor Rp 800 ribu. Dari pendapatannya itu, Laila masih sempat mengirimkan uang ke orang tuanya.
Terutama ketika ayahnya butuh uang untuk modal bertani di musim tembakau.
"Seingat saya, saya hanya mengeluarkan biaya Rp 10 juta untuk beli motor dan Rp 6 juta untuk beli laptop Lailatul. Selain itu, saya lebih sering dikirimi uang oleh Laila untuk modal bertani," kata dia.
Kepada Kompas.com, Lailatul Qomariyah menuturkan, tidak pernah merasa minder karena berlatar belakang anak seorang tukang becak.
Meskipun setiap hari dirinya naik sepeda ontel sejauh 5 km dari tempat kos ke kampusnya, tidak mengurangi semangat untuk meraih prestasi gemilang hingga lulus doktor dengan IPK 4.0.
"Saya anak orang miskin tapi saya tidak minder. Yang saya butuhkan adalah semangat orangtua, doa orangtua dan kesabaran orangtua. Hasilnya, saya petik saat ini dan untuk masa depan saya," ungkap Lailatul saat diwawancarai menggunakan telpon seluler.
Hari Minggu 15 September 2019 mendatang, Lailatul Qomariyah, anak kebanggaan Saningrat itu akan diwisuda.
Saat sidang terbuka disertasi Lailatul pada tanggal 4 September 2019 kemarin, Saningrat datang bersama enam saudaranya yang juga paman Laila sendiri.
Saat sidang berlangsung, mereka tidak tahu dan tidak mengerti apa yang menjadi perbincangan antara anaknya dan tujuh profesor yang menyidang Laila.
Pasalnya, bahasa yang digunakan mereka semuanya berbahasa Inggris.
"Saya dan paman-pamannya Laila hanya duduk kebingungan, karena kami tidak mengerti bahasa Inggris. Kami ini orang kecil. Tapi sekarang saya bangga dengan anak saya. Bukan saya sombong dengan prestasi anak saya saat ini, tetapi mensyukuri nikmat besar anak saya bisa sampai doktor tanpa saya banyak mengeluarkan biaya," ungkap Saningrat. (Taufiqurrahman)