Follow Us

Kisah Dukun Paling Keji dari Deli Serdang, Bunuh 42 Wanita di Ladang Tebu Sebagai Tumbal

Suar.id - Kamis, 23 Mei 2019 | 21:00
Dukun AS alias Ahmad Suradji yang telah membunuh 42 wanita.
ytimg

Dukun AS alias Ahmad Suradji yang telah membunuh 42 wanita.

SUAR.ID – Kisah Dukun AS atau Ahmad Suradji bak film-film horor. Demi menyempurnakan ilmu gaibnya, dia nekat menelanjangi, menghirup air liur, dan membunuh 42 wanita di ladang tebu.

Malam yang pekat dan gelap. Dalam tidur malamnya, Ahmad Suradji bermimpi didatangi mendiang ayahnya – kemungkinan besar iblis yang menyaru. Dia mendapat bisikan gaib, akan diwarisi sebuah ilmu yang mahasakti.

Katanya, ilmu ini tak terkalahkan. Sebuah kesaktian yang bisa digunakan untuk mengalahkan lawan sekaligus menolong dan mengobati orang.

Hanya, syaratnya tidak main-main. Supaya bisa menguasai ilmu ini secara sempurna, Suradji mesti menumbalkan 72 nyawa wanita. Salah satu prosedur wajibnya dengan menghisap air liur mereka.

Suradji bimbang. Namun hasrat memiliki ilmu yang mandraguna begitu menggelora. Apalagi ilmu ini juga bisa dipakai untuk menolong orang. Dalam batinnya, akhirnya muncul kesimpulan, tak ada salahnya mengorbankan sejumlah nyawa untuk kebaikan yang lebih besar.

Baca Juga: Tafsir Mimpi Pernikahan: Bermimpi Menikah Atau Lihat Orang Lain Menikah, Ini Artinya Bagi Kehidupan Nyata Anda

Sang waktu pun berlalu. Pada medio 1997 masyarakat Indonesia geger. Di sebuah ladang tebu di Dusun Aman Damai, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, polisi menemukan 42 jasad yang sebagian besar sudah menjadi tengkorak. Semuanya wanita telanjang. Berumur 13 sampai 27 tahun.

Bukan pria biasa

Suradji hanyalah seorang pria tamatan SD. Penampilannya biasa saja. Kurus dan jangkung. Sama sekali tidak ada pancaran kharisma laiknya tokoh ataupun dukun terkenal.

Terlahir pada 10 Januari 1949, Ahmad Suradji merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Jogan dan Sartik. Dia terlahir dengan nama Sagimin. Sang bapak meninggal saat dia baru berumur 7 bulan.

Di lingkungan tempatnya bermukim dia lebih dikenal dengan nama Nasib Kelewang. Pasalnya, saat kecil Suradji pernah tercebur sumur. “Sejak itu dia saya panggil Nasib karena berhasil selamat,” ujar Sartik saat diwawancarai Tabloid Nova pada 1998.

Sementara nama kelewang didapat karena dia sering mencuri lembu dan ke mana-mana membawa kelewang. Sejak umur 12 tahun, kata Sartik, Suradji keranjingan mempelajari ilmu perdukunan. Dia belajar dari buku-buku peninggalan mendiang bapaknya yang berprofesi sebagai dukun.

Saat berumur 27 tahun, Nasib menikahi wanita asal Pekanbaru bernama Tumini. Usai menikah, Nasib berganti nama menjadi Ahmad Suradji. Harapannya, nama baru itu bisa membawa berkah dan kehidupan yang lebih baik.

Di sini sebenarnya tidak ada yang luar biasa dalam kisah hidup Suradji. Hingga pada suatu hari, Sartik dikagetkan dengan keinginan anaknya untuk menikah lagi. Alasannya, dia ingin anak wanita, sementara Tumini hanya bisa memberikan empat anak laki-laki.

Sartik sebenarnya setuju. Tapi bukan kepalang terkejutnya ketika dia mengetahui bahwa wanita yang hendak dinikahi anaknya adalah adik iparnya sendiri alias adik kandung Tumini.

Hebohnya, Suradji tidak hanya menikahi satu adik Tumini namun dua adiknya, yakni Tuminah dan Ngatiyah. “Semua orang tahu bahwa itu perbuatan tidak benar,” keluh Sartik.

Toh, Suradji tidak peduli. Dia bahkan mengajak tiga wanita bersaudara itu tinggal satu atap. Karena ibunya terus menerus menentang, Suradji pun mengusir ibu kandungnya dari rumah.

Perilaku di luar kebiasaan umum inilah yang membuat Suradji terlihat sebagai bukan “pria biasa” meskipun penampilannya biasa-biasa saja. Apalagi sejak kecil Suradji mengaku sering didatangi mendiang ayahnya lewat mimpi. Dalam mimpinya tersebut, sang ayah mengajarinya berbagai ilmu kesaktian.

Entah akhirnya benar-benar sakti atau tidak, oleh masyarakat Suradji dianggap sebagai orang pintar atau dukun.

Panggilan Datuk pun disematkan kepadanya. Tidak sedikit orang yang mendatangi rumah Suradji untuk meminta pertolongan. Baik berobat karena sakit, pasang susuk agar terlihat cantik, memikat suami agar tidak tergoda wanita lain, atau hal takhayul lainnya.

Lolos dari maut

Sebut saja namanya Yanti. Seperti dituliskan dalam buku The Bastard Legacy: Warisan Legendaris Para Bedebah karya Jounathan, dia merupakan salah satu korban Suradji yang berhasil melarikan diri.

Pada suatu hari Yanti bertemu temannya yang terlihat cantik dan segar. Sang teman bercerita, dia merasa lebih percaya diri setelah mendapat bantuan seorang dukun sakti bernama Ahmad Suradji atau Dukun AS.

Yanti pun tergoda. Hingga pada suatu siang dia mendatangi kediaman Suradji. Awalnya biasa saja laiknya berkonsultasi dengan kebanyakan dukun. Yanti dibacai mantra dan disuruh meminum air putih yang sudah diludahi Suradji.

Untuk ritual selanjutnya, Yanti mesti bertemu Suradji lagi pada malam hari di perbatasan desa.

Karena tak curiga, Yanti mengiyakan ajakan Suradji. Dalam pertemuan itu Yanti diajak ke sebuah ladang tebu di belakang rumah. Suasananya betul-betul sepi dan gelap. “Ritual apa yang mesti dilakukan malam-malam begini,” tanya Yanti.

Baca Juga: Aksi 22 Mei: Potret Menyejukkan Warga Beri Air Mineral hingga Gorengan Jualannya pada Polisi untuk Buka Puasa

“Kalau mau ilmu yang sempurna, terlihat cantik, dan lancar rezeki, kamu mesti mengikuti ritual ini. Semua pasienku melakukannya. Jika tak percaya, tanyakan saja kepada mereka,” jawab Suradji. Yanti pun pasrah.

Sesampainya di tempat yang lebih lapang, Suradji meletakkan sebuah karung dan menghamparkan tikar kecil. Yanti diminta melepas pakaiannya. Semula wanita muda ini ragu-ragu. Tapi karena hasrat untuk terlihat cantik dan lancar rezekinya sangat besar, dia mematuhi perintah Suradji.

Yanti melepas semua pakaiannya. Mantra-mantra mulai dibacakan.

Dari dalam karung Suradji kemudian mengeluarkan sekop dan peranti lainnya. Dia membuat sebuah lubang galian kecil. Katanya, untuk ritual yang sempurna, Yanti mesti dikubur di lubang sampai sebatas leher. Istilahnya, Yanti diminta melakukan tapa pendem (bertapa dengan mengubur diri).

Nah, di sinilah Yanti mulai curiga. Namun Suradji bisa meyakinkannya kembali.

Hingga pada suatu momen, tiba-tiba Suradji membekap kencang Yanti. Secara reflek Yanti melawan karena mengira akan diperkosa. Suradji berhasil didorongnya hingga terjungkal ke lubang galian.

Begitu tubuhnya bebas, Yanti memakai pakaian sekadarnya dan melarikan diri. Malam itu Yanti pulang dengan tubuh perih karena gesekan batang-batang tebu, dengan pakaian sekadarnya.

Meski begitu, Yanti tidak menceritakan kasus ini kepada siapa pun. Sebab bercerita tentang hal ini sama artinya membuka aibnya sendiri.

Mayat wanita telanjang

Suatu sore pada 27 April 1997 Dusun Aman Damai dilanda kehebohan. Seorang pemuda menemukan sesosok mayat wanita tanpa busana di ladang tebu.

Warga pun berbondong-bondong untuk membongkarnya. Suasana bertambah panas ketika muncul kabar seorang warga yang bernama Sri Kemala Dewi (21) sudah menghilang selama tiga hari. Mereka takut mayat yang ditemukan tersebut adalah Dewi.

Ternyata mayat tersebut benar-benar milik Dewi. Aparat kepolisian dari Mapolsek Sunggal bertindak cepat. Setelah diselidiki, sebelum menghilang Dewi dikabarkan sempat bertengkar dengan suaminya, Tumin. Bahkan mereka telah pisah ranjang.

Orangtua Dewi pun meyakini Tumin-lah pelaku pembunuhan tersebut. Untuk keperluan penyelidikan, maka suami Dewi ditahan.

Pakaian yang membuka tabir

Pihak kepolisian tidak mau terburu nafsu menetapkan Tumin sebagai tersangka. Apalagi berdasarkan penyelidikan lanjutan, beberapa tahun sebelumnya juga pernah ditemukan mayat wanita di ladang tebu. Kasus tersebut terpaksa dihentikan karena kekurangan bukti.

Hingga pada suatu kesempatan, polisi menemukan secercah bukti baru. Seorang warga kampung yang bernama Andreas, pada hari menghilangnya Dewi, mengaku pernah mengantarkannya ke rumah Suradji untuk berkonsultasi.

Polisi menindaklanjuti laporan tersebut. Mereka mendatangi rumah Suradji. Pria yang akrab dipanggil Datuk itu pun mengakui, Dewi memang pernah datang ke rumahnya. Namun selepas magrib, Dewi pulang ke rumahnya sendiri.

Penyelidikan terpaksa dihentikan karena tak cukup bukti.Polisi tak menyerah. Mereka mendalami sejumlah laporan orang hilang dalam beberapa tahun terakhir. Ternyata, dari sekian banyak orang yang dilaporkan hilang terdapat satu benang merah. Kebanyakan dari mereka merupakan pasien Suradji.

Atas dasar informasi tambahan itu, polisi lalu menggeledah rumah sang dukun. Di sana ditemukan sejumlah pakaian dan perhiasan wanita, salah satunya milik Dewi. Suradji beserta ketiga istrinya pun ditangkap.

Pengakuan Suradji

Lewat proses interogasi yang panjang akhirnya muncul pengakuan dari mulut Suradji. Dia mengaku membunuh Dewi. Polisi tidak berhenti di situ. Suradji didesak terus. Jika semula hanya mengaku membunuh Dewi, Suradji mengaku telah membunuh 16 wanita, hingga kemudian mengaku lagi menjadi 42 wanita.

Para penyelidik terperangah. Mereka bertanya untuk apa membunuh wanita sebanyak itu. Di hadapan penyelidik Suradji bercerita bahwa perbuatan itu dilakoninya demi mendapatkan ilmu sakti.

Bisikan gaib yang diterimanya lewat mimpi memerintahkannya untuk membunuh 72 wanita plus menghirup air liurnya. Pembunuhan berantai ini dilakukan dari 1986 hingga 1997.

Apakah hanya itu latar belakangnya, masih menjadi misteri. Yang jelas, selain membunuh, Suradji juga mengambil barang-barang berharga milik korban.

Dalam melakukan aksi biadabnya itu Suradji dibantu oleh istrinya. Namun tidak semua istri ikut membantu. Hanya istri tertua saja yang turut serta yakni Tumini.

Berdasarkan pengakuan itu, dua istri Suradji yakni Tuminah dan Ngatiyah diperbolehkan pulang. Sementara Tumini mengikuti jejak suaminya, mendekam di tahanan.

Membantah tuduhan

Suradji disidangkan di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam (Sumut) pada 22 Desember 1997. Masyarakat berbondong-bondong menonton jalannya sidang.

Saking banyaknya pengunjung, pihak Pemda Deli Serdang sampai menyiapkan tenda besar serta 4 televisi monitor bagi pengunjung yang tak kebagian tempat duduk di dalam sidang.

Polisi pun menyiapkan 4 peleton untuk mengamankan jalannya sidang. Menurut Kadispen Polda Sumut, Letkol (Pol.) Drs. Amrin Karim pihaknya juga menyiapkan petugas dengan pakaian preman untuk berjaga-jaga andaikata ada anggota masyarakat yang emosi pada Suradji.

Untunglah kekhawatiran itu tak terjadi. Kebanyakan pengunjung sidang yang jumlah mencapai ratusan orang itu bukan berniat menyimak sidang, melainkan sekadar melihat tampang Datuk. “Saya sih, penasaran saja, kayak apa, sih,” ucap salah satu pengunjung sidang.

Dalam persidangan tersebut, Suradji menolak laporan BAP polisi. Dia membantah telah membunuh 42 wanita. Pengakuan bahwa dirinya telah membunuh 42 wanita berdasarkan bisikan gaib mucul karena paksaan selama proses interogasi.

Hal sama juga diucapkan Tumini. Dia membantah tuduhan telah bersekutu dengan suaminya untuk melakukan pembunuhan berseri. Semua tuduhan yang dilontarkan di pengadilan dianggapnya sebagai kebohongan besar.

Persidangan pun berlangsung alot dan dilakukan maraton. Hingga pada persidangan 24 April 1998, majelis hakim yang diketuai Hakim Haogoaro Harefa, S.H. menjatuhkan putusannya.

“Kami majelis hakim memutuskan, saudara terdakwa dijatuhi hukuman mati!” Putusan ini langsung disambut gemuruh tepuk tangan pengunjung yang memadati ruang sidang.

Suradji tampak tenang mendengar vonis itu. Bahkan ia sempat melempar senyum saat kamera para wartawan menjepretnya. “Saya minta banding,” ujar ayah 9 anak ini pelan, ketika ditanya hakim apa sikapnya terhadap putusan pengadilan.

Sikap Suradji didukung penuh oleh ibunya. Menurut Sartik, anaknya tidak bersalah. “Saya tidak percaya. Yang aneh ‘kan, setelah sekian tahun kenapa baru terungkap sekarang. Kalau korban terakhir (Dewi - Red), saya tidak tahu. Mungkin saja anak saya yang melakukannya,” kata Sartik.

Permintaan terakhir

Upaya banding dilakukan Suradji. Namun pengajuan bandingnya ditolak Pengadilan Tinggi Sumut pada 27 Juni 1998. Demikian juga kasasi ke Mahkamah Agung ditolak pada 27 September 2000. MA kembali menolak PK Suradji pada 28 Mei 2003.

Sementara Tumini mendapat vonis hukuman seumur hidup. Dia dipaksa mendekam di Lapas Tanjung Gusta, Medan seumur hidupnya.

Selama menunggu pelaksanaan eksekusi hukuman mati, Suradji terlihat tenang dan sabar. Sehari-hari, dia memelihara ikan di kolam yang disediakan pihak LP Klas I Tanjung Gusta. Suradji juga mendapat bimbingan rohani khusus dan dikabarkan telah membuang semua ilmu kebatinannya.

Suradji mengaku sangat merindukan keluarganya. Dia ingin berkumpul dengan istri dan sembilan anak-anaknya, seperti sedia kala. “Aku khawatir kalau mereka percaya atas semua tuduhan ini,” sebut Ahmad Suradji seraya mengatakan dia sering dikunjungi anak dan istrinya.

Bagaimanapun Suradji tetap manusia. Ketika pada 2008 diberi kabar bahwa eksekusi hukuman mati akan segera dilaksanakan, dia resah dan gelisah.

“Meski belum mendapatkan pemberitahuan resmi tetapi Dukun AS (Suradji) telah mengetahui rencana eksekusi itu dari pemberitaan. Dia stres setelah mengetahuinya,” kata tim kuasa hukum Dukun AS, Muslim Muis seperti dilansir dari Antaranews.com.

Menjelang pelaksanaan hukuman, Suradji mengajukan permohonan terakhir ke pengadilan. Dia minta diberi kesempatan satu kali untuk bertemu dan bermesraan dengan istri tertuanya, Tumini. Permintaan ini dikabulkan.

Pada 10 Juli 2008 eksekusi hukuman mati dilakukan. Sekitar pukul 22.00, Suradji dihadapkan di depan 12 orang anggota regu tembak.

Dorr..tiga peluru bersarang di dadanya. Tiga peluru yang menjadi akhir dari perjalanan hidup Suradji. Perjalanan seorang dukun yang divonis pengadilan karena telah membunuh 42 wanita di ladang tebu. (Yoyok Prima Maulana – Intisari Juli 2017)

Baca Juga: Kisah Di Balik Munculnya Jackie Chan dan Arnold Schwarzenegger di Demo 22 Mei

Editor : Yoyok Prima Maulana

Baca Lainnya

Latest