Follow Us

Telah Membunuh 500 Orang, Petani Sayur Ini Disebut sebagai Pembunuh Bayaran Paling Sadis di Dunia

Moh. Habib Asyhad - Minggu, 28 April 2019 | 14:16
Ilustrasi Julio Santara, petani sayur yang dianggap sebagai pembunuh bayaran paling sadis di dunia.
New York Post

Ilustrasi Julio Santara, petani sayur yang dianggap sebagai pembunuh bayaran paling sadis di dunia.

“Kami berbicara tentang segalanya dan bukan hanya tentang pekerjaannya. Dia berbicara tentang masa kecilnya, hubungannya dengan orangtuanya dan saudara-saudaranya dan kehidupan yang tenang yang dia jalani di hutan serta drama internal yang dia hadapi ketika dia mulai bekerja sebagai pembunuh bayaran.”

Sementara itu, Santana, yang kini berusia 64 tahun, mengatakan kepada The Post dalam sebuah wawancara melalui e-mail pekan lalu, dia menyukai cara Cavalcanti yang berkisah secara jujur.

Dan sebaliknya, dia tidak menyukai cara film yang mengangkat kisahnya itu tentang menceritakan kisahnya.

“Kisah nyata dalam hidupku jauh lebih sedih daripada apa pun yang bisa kau bayangkan,” katanya.

Setelah pembunuhan pertama itu, paman Santana menawarinya sebagai pembunuh bayaran bagi pemerintah Brasil dalam pertempuran melawan pemberontak komunis di lembah Sungai Araguaia di Amazon.

Dari 1967 hingga 1974, gerakan Araguaia Guerrillas mencoba membangun basis pedesaan untuk menggulingkan kediktatoran militer Brasil, dan merekrut petani dan nelayan untuk tujuan mereka.

Pada awal 1970-an, Santana mendapatkan kontrak pertama dengan tugas melacak perkemahan gerilya.

Dalam satu kasus, dia membantu menangkap militan kiri Jose Genoino, seorang mahasiswa hukum dan salah seorang pemimpin gerilyawan.

Santana menyaksikan dengan ngeri ketika tentara menghabiskan waktu berhari-hari menaruhnya di lokasi rahasia di hutan hujan.

Bertahun-tahun kemudian, Genoino menjadi anggota Kongres dan presiden Partai Buruh yang berhaluan kiri.

Dalam sebuah wawancara dengan Cavalcanti, dia mengingat seorang "bocah" dalam kelompok yang menangkapnya di Amazon.

Santana baru berusia 18 tahun saat itu, dan sebagian dihargai atas pekerjaannya dengan sebotol Coca Cola—minuman favoritnya dan kemewahan yang tidak pernah mampu dijangkau oleh keluarga miskinnya.

Editor : Moh. Habib Asyhad

Baca Lainnya

Latest