Namun, lanjut Djoko, pemerintah tidak wajib membayar selisih tersebut karena bergantung dari audit serta memperhitungkan anggaran yang ada.
"Misalnya, harga di pasar Rp. 7.000, jualnya Rp. 6.450, nah selisihnya itu bisa diajukan, tapi bukan kewajiban pemerintah membayar karena tergantung audit dan anggarannya ada atau enggak," jelasnya.
Djoko mengatakan, karena harga minyak dunia yang dilihat dari Mean of Platts Singapore (MOPS) terus berfluktuasi, pihaknya pun telah mengajukan perubahan formula harga Premium ini kepada Kementerian Keuangan.
Baca Juga : Sikap Ahmad Dhani Mulai AlamI Perubahan Setelah Dipenjara, Jadi Lebih Bijaksana dan Dewasa dalam Berbicara
Harapannya, supaya harga jenis BBM penugasan ini tidak menjadi beban negara maupun Pertamina.
"Kemenkeu yang ada kewenangan untuk menghitung dan membayar. Sudah kami usulkan ke Kemenkeu, tapi belum dijawab," katanya.
Hal itu berbeda dengan jenis BBM Umum Non-Subsidi. Dengan Keputusan Menteri ESDM No. 19 K/10/MEM/2019 yang berlaku sejak 1 Februari 2019.
Formula harga jual eceran berpedoman pada hasil penambahan dari MOPS, konstanta (biaya perolehan di luar harga produk, biaya penyimpanan dan biaya distribusi), margin, PPN 10 persen. dan juga PBBKB sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi setempat.
Pemerintah menetapkan batasan margin paling rendah 5 persen dan paling tinggi 10 persen dari harga dasar.
Dengan formula ini, lanjut Djoko, badan usaha telah melakukan penyesuaian harga mengikuti aturan tersebut.
"Penurunan harga terjadi dari Rp 50 hingga yang tertinggi Rp 1.100," kata Djoko.
Hingga saat ini, tercatat lima badan usaha telah melakukan penyesuaian harga, yakni PT Aneka Petroindo Raya per 6 Februari 2019, PT Vivo energy Indonesia per 8 Februari 2019, PT Shell Indonesia dan PT Total Oil Indonesia per 9 Februari 2019, serta PT Pertamina (Persero) per 10 Februari 2019.