Lebih lanjut menurut. Pak Supri, pria atau wanita bahu laweyan sebenarnya seperti manusia biasa lainnya.
Malah ia sendiri pun tidak tahu kalau memiliki kekuatan "membunuh" istri/suami. Dia baru sadar setelah tiga empat kali mengarungi biduk perkawinan selalu ditinggal mati suami atau istri.
Saat kematian pasangan pertama, orang belum curiga dan menganggapnya kematian biasa. Keluarga dekatnya baru akan berpikir bila hal yang sama menimpa pasangan kedua.
Apabila manusia bahu laweyan ini menikah yang ketiga kalinya, dan kembali pasangannya menghadapi kematian, barulah sanak saudara dan masyarakat sadar ada yang tidak beres dalam tubuh manusia tersebut.
"Biasanya setelah perkawinan yang ketiga, betapapun cantik atau gantengnya, dia akan kesulitan mencari pasangan. Memangnya siapa yang berani menanggung risiko kematian?" ujar Pak Supri.
Tapi menurutnya, bila sampai tiga kali menjalani perkawinan dengan selalu mengorbankan pasangannya, umumnya janda atau duda dari masyarakat Jawa akan tahu diri dan takut kawin lagi.
Sedangkan budayawan Jawa H. Karkono Kamajaya PK mengaku, meski tidak tahu ciri-ciri fisik orang bahu laweyan, tapi percaya orang semacam itu memang ada.
Ketua Javanologi Panunggal Yogyakarta ini sedari kecil telah mengetahui istilah manusia bahu laweyan, bahkan pernah kenal akrab salah seorang di antaranya.
"Yang saya tahu, bahu laweyan hanya untuk perempuan. Suami wanita ini tidak selalu meninggal, tapi ada saja malapetaka atau kesialan menimpa hidupnya. Entah itu kecelakaan, sakit-sakitan, atau yang lainnya. Pokoknya, sial terus," ujarnya merinci garis nasib para bahu laweyan.
Kemalanggn yang menyertai manusia bahu laweyan, menurut Dra. Astuti Hendrato, mantan dosen sastra Jawa UI, lebih disebabkan oleh nasib atau bawaan.
"Kalau menurut orang Jawa, ndilalah atau kebetulan saja orang tersebut ditimpa nasib buruk. Bukan karena keturunan."