Tak lama kemudian mulai turun abu panas, yang rasanya sangat nyeri jika terkena kulit. Ini berlangsung kira-kira seperempat jam, mungkin lebih lama, disertai uap belerang yang menyesakkan napas.
Sesudah itu turun hujan lumpur, yang melekat pada tubuh, tetapi lebih mending daripada abu panas yang mengakibatkan lukaluka bakar.
Lumpur dan abu silih berganti berjatuhan semalam suntuk, mungkin juga sampai Selasa pagi.
Selama lima hari Beyerink dengan keluarganya menderita di bawah tempat berteduh yang sederhana, dikelilingi sejumlah besar rakyat yang ikut melarikan diri ke tempat itu.
Mereka semuanya sangat menderita, terutama oleh luka-luka bakar yang tak diobati. Anak terkecil keluarga Bayerink akhirnya meninggal karena luka-lukanya dan keadaan yang menyedihkan itu.
Akhirnya mereka dibebaskan oleh kapal bargas Kediri yang pada hari Saptu pagi, tanggal 31 Agustus membuang sauh di Teluk Kalianda.
Nakhoda kapal beserta beberapa anak buahnya melakukan peninjauan ke darat.
Mereka mendengar bahwa kontrolir dengan keluarganya mengungsi di Umbal Balak. Mereka bergegas menjemputnya. Dengan bantuan tandu keluarga yang malang itu akhirnya dapat dibawa ke pantai dan hari itu juga Kediri bertolak ke Jakarta.
Demikianlah kisah beberapa saksi mata yang mengalami secara pribadi malapetaka Krakatau itu.
Para pengamat waktu itu setelah mengumpulkan data yang diperoleh, menyimpulkan bahwa letusan Krakatau bulan Agustus 1883 itu tidak disertai atau didahului oleh gempa kuat. Di beberapa tempat memang terasa guncangan ringan.
***
Setelah aktif selama 121 hari sejak bulan Mei dan puncak ledakan tanggal 28 Agustus itu akhirnya semuanya menjadi tenang kembali.