Keluarga duduk di sebelah kanan, sedangkan teman-teman Theis di sebelah kiri.
Seakan mimpi, saya lihat di salah satu peti jenazah terrulis nama Theis. Badan saya sudah lemas dan terus dipapah keponakan saya.
Tak lama kemudian datang Pak Soeyono (Kasum ABRI, Red.) dan berkata, "Minta maaf, ya, Bu. Kami sudah cukup berusaha."
Sampai saat itu. saya belum tahu persis, apa penyebab kemutian Theis.
Belakangan, ada saudara dekat Adinda (salah satu sandera yang selamat. Red.).
Theis meninggal karena dibacok saat hendak melindungi Adinda, dan satu lagi temannya.
Katanya, waktu itu mereka hendak melarikan diri sama-sama lewat sungai.
Yah, saya tak bisa bilang apaapa, kalau memang Tuhan sudah berkehendak. Apalagi kematiannya karena dia mau menolong sesamanya.
Artinya, dia meninggal sebagai pejuang. Yang saya sedihkan, kenapa Theis harus tewas sehari sebelum dia dan rombongannya pulang.
Di tangan GPK pula. Dia itu, kan, ilmuwan peneliti. Kenapa, kok, justru dia yang disandera?
Tak pernah mengeluh
Kegelisahan saya selama menanti Theis sulit diucapkan lewat kata-kata.