Suar.ID -Penyanderaan yang dilakukan gerakan pengacau keamanan (GPK)—sekarang Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB)—terhadap peneliti Tim Ekspedisi Lorentz '95 di Pegunungan Jayawijaya, sejak 8 Januari-15 Mei 1995, berakhir dengan tewasnya dua anggota tim.
Mereka adalah Navy W. Th. Panekenan (29) dan Yosias Matheis Lasamahu (32).
GPK sendiri disebut punya afiliasi dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menginginkan kemerdekaan Papua dari Republik Indonesia.
Sebelumnya, sandera sempat berhubungan dengan anggota Komite Regional Palang Merah Interaotional (International Committee of the Red Cross - ICRC).
Baca Juga : Senjata Hipersonik Rusia Diyakini Tak Akan Bisa Dilawan Amerika
Melalui lobi-lobi yang dilakukan ICRC juga, kelompok GPK sempat mau melepaskan para sandera itu.
Tapi semua berubah setelah dilakukannya pesta adat. Salah satu pemimpin tertinggi mereka, Kelly Kwalik, memberi syarat berat untuk Indonesia—dan itu memaksa ABRI mengirim pasukannya.
Bagaimana kisah itu terjadi, Intisari edisi Juli 1996 mengisahkannya untuk kisah semua.
***
Semua orang yang memahami budaya masyarakat Irian Jaya, sekarang Papua, tahu betapa pentingnya pesta adat.
ICRC pun sadar, pesta besar berarti semua akan beres.
GPK benar-benar mau membebaskan sandera. Dua helikopter carteran dari MAP (Missionary Aviation Fellowship) dan Airfast, mengangkut bahan makanan seperti ubi, sayur mayur, dan lainnya, termasuk 10 ekor babi hidup.
ICRC juga telah menjemput 18 orang kepala suku, serta beberapa orang desa sekitar Geselema.
Sejak pagi 8 Mei, keramaian pesta sudah terasa. Perwakilan ICRC dari masing-masing negara asal sandera: Indonesia, Belanda, dan Inggris hadir, untuk "menerima kembali anak-anaknya".
Baca Juga : Iseng Coba Parasut Buatan Sendiri, Remaja Ini Tewas Saat Jatuh dari Gedung Diiringi Sorakan Sang Ibu
Pesta ini memang serius. Upacara berjalan sejak pukul 07.00 sampai 14.00 waktu setempat.
Ke-11 sandera kelihatan-ceria. Inilah hari terakhir menjadi sandera, begitu pikir mereka.
Tanggal itu sudah amat ditunggu bagi Dinda, Lita, Theis, dan Navy – setelah 4 bulan lebih menjadi tawanan GPK.
Tinggal menunggu waktunya saja, ke-4 putra-putri Indonesia itu akan bebas dari penyanderaan rekan sebangsanya.
"Mungkin 400 atau 500 orang ada di pesta itu. Upacara dimulai dengan tarian..
“Setelah semua pihak hadir lengkap, termasuk sandera, babi disembelih. Mereka memanaskan batu, serta menyediakan lubang untuk "menanak" daging hewan dan sayuran.
Penduduk desa berfoto dengan sandera, sambil mengucapkan kata perpisahan. Malah ada yang meminta jangan lupa mengirim, foto ke Geselema," kenang Henry Fournier, saat itu kepala delegasi regional ICRC di Jakarta.
Setelah itu pimpinan GPK lokal, Kelly Kwalik, tampil berpidato. Namun yang membuat semua pihak terkaget-kaget adalah pernyataan Kelly di akhir pidatonya.
Dia tak akan membebaskan sandera bila pemerintah Indonesia, Inggris, dan Belanda tak mau mengakui kemerdekaan Papua.
“Saya tak percaya. Perasaan saya hancur, kecewa, begitu pula orang lain.
Ya, sandera itu semuanya kaget. Mereka tak percaya apa yang mereka dengar. Bagaimana tidak? Para sandera sudah susah payah mempersiapkan pesta pelepasdn. Mefeka sudah berharap, supaya segera bebas dan keluar dari sana," kata Fournier.
Tak pelak suasana di lapangan pesta agak kacau.
Baca Juga : BREAKING NEWS: Jose Mourinho Resmi Dipecat dari Manchester United
Setelah pidato Kwalik, pimpinan GPK lainnya kelihatan bingung dan saling bertanya.
Salah satu di antara mereka berkata. "Tidak! tidak begini. Kami sudah buat perjanjian. Kita sudah berpesta, sudah menyembelih babi. Bahkan sudah sama-sama menyantap makanan pesta itu. Kami akan bicara dengan Kelly Kwalik. Ini tidak baik," katanya.
Sementara hari menjelang senja, suasana makin tak menentu. GPK menyuruh ICRC datang lagi esok hari, untuk menjemput sandera.
Nampaknya, di antara sesama GPK penculik itu terjadi perdebatan. ICRC memutuskan kembali ke pos, untuk membiarkan pihak GPK berdiskusi.
Hari Kamis 9 Mei, ICRC kembali lagi ke Geselema.
Tujuannya mengajak Kwalik berbicara. Pimpinan GPK itu tetap mengulangi tuntutannya, malah meminta senjata api laras panjang.
"Kami sudah tiga bulan +berusaha menjadi penengah misi kemanusiaan ini, tapi di hari terakhir kami dikhianati. Kami ditipu. ICRC menyatakan tak sanggup lagi berdialog dengan GPK," kata Fournier menahan emosi.
ICRC kemudian meminta izin mengirimkan dokter untuk memeriksa sandera.
Soalnya kehamilan Klein makin besar. Juga ada beberapa sandera sakit yang tak mungkin tinggal berlama-lama di hutan.
Empat hari setelah ICRC mundur, gerombolan pengacau itu disergap oleh satuan operasi khusus ABRI yang dipimpin oleh Dan Kopasus Brigjen Prabowo Subianto.
Dalam sekejap, Rabu 15 Mei, sembilan sandera dibebaskan. ‘
Beberapa anggota GPK tewas dan tertangkap.
Baca Juga : Kaleidoskop 2018: Ini 3 Kasus Korupsi dengan Vonis Terberat Hingga 15 Tahun Kurungan Penjara
Sementara Navy dan Theis, meninggal tak tertolong. Musibah ini, membuat banyak orang berduka.
Fournier sebagai warga ICRC menganggap GPK itu sungguh naif.
"Mereka kurang tahu apa yang mereka iriginkan. Juga mereka tak tahu, bagaimana tata cara berhubungan dengan warga dunia luar."
Selain ikut sedih atas meninggalnya Navy dan Theis di lokasi, ICRC juga menyesal.
"Kelompok penculik itu, sudah kehilangan kesempatannya mendapat bantuan atau pertolongan warga luar Irian Jaya,” tambahnya saat itu.
Yang telah terjadi, itulah sekelumit kejadiannya.
Kisah perihal manusia yang ditawan sekelompok manusia tak dikenal, kemudian dibebaskan kelompok manusia lain.
Sandera, penyandera, penengah, dan pembebas, semuanya manusia yang berbeda peranannya.
Namun Navy dan Theis paling berbeda ... mereka berpulang lebih dahulu.