Suar.ID -Penyebaran virus corona sangat cepat, Presiden Joko Widodo sampai meminta lakukan tes massal, ini yang harus diketahui soal rapid test virus corona.
Presiden Jokowi akhirnya mengeluarkan perintah untuk menginstruksikan pelaksanaan rapid test virus corona.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui atau mendeteksi dini orang yang menderita covid-19.
Apalagi perkembangan kasus virus corona sangat cepat.
Baca Juga: Viral Video 2 Pria Arab Tenggak Disinfektan agar Terhindar Corona, Kini Jadi Buronan Polisi
Sejak awal diumumkan virus corona masuk ke Indonesia, kini sudah 300 pasien yang positif.
Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS PatKln), Prof. DR. Dr. Aryati, MS, Sp.PK(K), mengatakan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan terkait rapid test.
Ia mengingatkan, perlu ada kewaspadaan dan ketelitian terhadap tes yang dilakukan.
Hal ini karena rapid test ada potensi memunculkan hasil negatif palsu atau hasil positif palsu.
Dr. Aryati mengatakan, hasil positif palsu atau false positive bisa muncul karena adanya infeksi virus corona jenis lain di masa lalu.
“Karena (jenis) corona banyak di masa lalu itu, antibodi yang pernah timbul bisa saja terdeteksi,” kata Aryati seperti dikutip dari Kompas.com, Sabtu (21/03/2020).
Selain itu, adanya kemungkinan cross reactive atau reaksi silang dengan jenis corona yang lain atau jenis virus yang memiliki kemiripan, bisa menimbulkan adanya false positive.
Ia mencontohkan, hal itu terjadi di Singapura. Ada dua kasus diduga demam berdarah, ternyata Covid-19.
“Jadi artinya hati-hati,” kata dia.
Seperti apa penjelasan lengkap soal rapid test virus corona?
1. Tes Lanjutan CPR
Aryati mengatakan, jika hasil tes dengan rapid test hasilnya positif, maka sebaiknya dikonfirmasi kembali dengan tes Polymerase Chain Reaction (PCR).
“Tapi kalau hasil negatif dia belum melewati inkubasinya, saya sarankan untuk dilakukan pengambilan sampel ulang 7 hari kemudian dari hari pertama tadi.
Misal batuk, diperiksa negatif, jangan senang dulu. Cek lagi hari ke-12. Kalau dicek lagi positif, berarti ya positif,” kata Aryati.
Pelaksanaan tes menggunakan rapid test secara massal, lanjut Aryati, bisa dilakukan jika bertujuan melihat paparan virus.
“Kalau teman-teman dari bagian epidemiologi ingin melihat ada paparan enggak sih di daerah Jakarta Barat, misalnya.
"Ya silakan saja karena enggak terkait dengan orang itu untuk diterapi. Tapi kalau untuk diagnosis, tentu perlu pertimbangan tadi, kalau negatif diulang, kalau positif dilanjut dengan PCR,” kata dia.
Aryati mengingatkan tenaga kesehatan harus memahami dengan benar terkait tes yang dilakukan.
Terutama terkait alur tes maupun pengetahuan bahwa hasil positif seharusnya dilanjutkan dengan PCR dan memberikan pengertian kepada keluarga.
Jika tidak, ia khawatir terjadi kepanikan masif seandainya mereka yang dites menunjukkan hasil positif.
“Jika itu tak disikapi dengan baik oleh pemeriksanya, entah dokter atau pengirimnya, itu bisa jadi kehebohan nasional,” kata Aryati.
2. Metode Deteksi Virus
Lebih jauh, Aryati menjelaskan, ada empat metode yang bisa digunakan untuk mendeteksi virus.
Metode tersebut adalah melalui:
KulturMolekulerAntigenAntibodi.
Metode dengan keakuratan paling tinggi adalah metode kultur atau biakan virus.
Akan tetapi metode ini sulit dilakukan karena biayanya mahal serta memerlukan tenaga terlatih.
Adapun metode PCR yang selama ini digunakan termasuk metode molekuler. Metode ini memiliki keakuratan di bawah metode kultur.
“Molekular itu deteksinya asam nukleat yaitu DNA atau RNA dari patogen tersebut. Nah itu yang dipakai untuk deteksi SARS-CoV2 selama ini,” lanjut dia.
Metode ketiga, antigen, memiliki keakuratan di bawah PCR.
Akan tetapi metode ini belum ada reagennya di Indonesia.
Sementara, metode keempat, dengan kepercayaan terendah, adalah metode antibodi.
Salah satu metode antibodi adalah rapid test.
“Tetapi memang antibodi itu mudah didapat, dikerjakan. Bisa dari sampel darah, darah utuh, bisa serum, bisa pula plasma,” ujar Aryati.
3. Cara Pengujian Rapid Test
Hampir seluruh tes yang dilakukan di Australia dimulai dengan sampel yang diambil dari hidung atau belakang tenggorokan atau keduanya menggunakan swab khusus.
Michael Harrison, ahli patologi dan CEO bisnis patologi yang berbasis di Brisbane, Sullivan Nicolaides, mengatakan, perusahannya saat ini melakukan sekitar 1.500 tes per hari melalui laboratorium mereka.
"Hidung dan bagian belakang tenggorokan adalah dua situs tempat virus bereplikasi," kata Harrison.
Oleh karena itu, penyeka mengambil sel-sel di mana virus berada.
Tes swab digunakan untuk mencocokkan bahan genetik yang ditangkap pada swab dengan kode genetik Covid-19.
Staf medis yang mengambil sampel perlu menggunakan alat pelindung diri termasuk sarung tangan, masker, pakaian khusus, dan pelindung wajah.
Seorang dokter umum di Melbourne dan dosen perawatan primer di University of Melbourne Dr Chance Pistoll menjelaskan, sangat penting bagi tenaga medis memiliki peralatan pelindung yang cukup.
Ia mengatakan, siapa pun yang merasa berpotensi terinfeksi harus menelepon terlebih dahulu dan mengikuti sistem yang telah ditetapkan oleh pihak berwenang untuk melindungi pasien, orang lain, dan staf medis.
Pistoll menegaskan, jika seseorang diuji untuk Covid-19, sangat penting melakukan isolasi diri hingga mendapatkan hasilnya.
"Anda harus berada dalam pengasingan sendiri sampai tahu hasilnya. Jika telah diuji, harus menganggap Anda memilikinya sampai tahu bahwa Anda tidak memilikinya," ujar dia.
4. Sampel Uji Covid-19
Setelah spesimen diambil dan disegel, selanjutnya dipindahkan ke laboratorium dan diuji dalam batch.
Teknik yang digunakan dikenal sebagai reaksi berantai polimerase atau PCR.
Sampel melalui proses yang sebagian besar otomatis mengekstraksi materi genetik sebelum ditempatkan ke dalam mesin PCR dalam batch.
Direktur Doherty Institute Prof Sharon Lewin menjelaskan, teknik PCR yang digunakan untuk Covid-19 juga digunakan pada pengujian lain seperti HIV, Hepatitis C, dan influenza.
"Cara untuk melakukan ini adalah menemukan bahan genetik virus. PCR memperkuat materi genetik sehingga dapat dengan mudah mendeteksinya," kata dia.
(Kompas.com)