Bertahun-tahun Pasca Ayahnya Dieksekusi Mati, Anak Pelaku Bom Bali I Ceritakan Kisah Pilu Kehidupannya Hingga Nyaris Ikuti Jejak Sang Ayah

Selasa, 25 Februari 2020 | 14:30
Serambinews.com

Mahendra, putra Amrozi ceritakan kisah pilu kehidupannya

Suar.ID -Zulia Mahendra, putra sulung Amrozi, pelaku Bom Bali 1 menuturkan tekadnya berjihad demi keluarga dan menjaga anak-anaknya.

Ia mengaku berkeinginan agar anak-anaknya tak seperti dirinya yang terbebani dan dikucilkan orang karena kesalahan bapaknya.

Selama bertahun-tahun, Zulia Mahendra merasa seperti "sampah".

Ia dijauhi masyarakat, sulit mencari kerja, dan merasakan depresi, ada satu momen yang membuatnya menangis.

Baca Juga: Dapat Bayaran Tak Seberapa, Penyanyi Dangdut Ini Harus Tanggung Malu Bukan Kepalang Saat Bajunya Melorot Sampai Dada Pas Manggung, Kepedean Pas Disoraki Penonton

Momen ketika melihat anaknya tidur, anak yang selalu dipeluk ketika pulang, dan pergi dari rumah untuk mencari nafkah.

Hal itu yang menimbulkan tekad untuk membesarkan anak dan "berjihad untuk keluarga."

Itulah yang dikatakan Zulia Mahendra, putra sulung Amrozi, pelaku Bom Bali 1.

Mahendra baru menginjak usia 16 tahun saat ayahnya ditangkap, tak lama setelah Bom Bali 1 pada 12 Oktober 2002.

Usia yang dia sebut "masih mencari jati diri", serta merasa "marah dan terkejut serta tak percaya" bahwa ayahnya termasuk salah seorang pelaku utama di balik serangan terparah di Indonesia dengan 202 korban jiwa itu.

Baca Juga: Rayakan Ulang Pertama Tanpa Sang Ibu, Rizky Febian Unggah Foto Lawas Sule dan Lina Jubaedah: Aa Hanya ingin Mengucapkan Aa Rindu Mama...

Setelah penangkapan dan eksekusi, Mahendra mengatakan dia bahkan sempat ingin mengikuti dan "melanjutkan apa yang dilakukan bapak".

Perubahan besar inilah yang disampaikan Hendra - nama panggilannya - ketika bertemu dengan putra salah seorang korban Bom Bali 1, Garil Arnandha pertengahan Oktober 2019.

"Satu malam, saya emosional, lagi ingat bapak.

Saya lihat anak saya yang pertama tidur.

Saat menatap anak saya waktu tidur, saya menangis.

Saya harus membahagiakan dia," ceritanya kepada Garil, dikutip dari Kompas.com.

"Jangan sampai anak saya bernasib sama seperti saya.

Baca Juga: Seorang Pria Menjerit Kesakitan saat Alat Kelaminnya Diobati Dokter dengan Ini, Pasien: Seperti Mimpi Buruk!

Dari apa yang saya jalani, itu sungguh sangat sangat berat.

Orang-orang di seputar saya mengucilkan dan saya gak mau nantinya anak saya bernasib sama seperti saya.

Saya berusaha mengembalikan agar bisa diterima lagi."

"Kalau keluar rumah, saya peluk anak.

Andaikan saya melakukan hal seperti bapak, anak saya ini peluk siapa?… Itu yang membuat saya sadar.

Kuasa Allah," tambahnya lagi.

Di awal pertemuan dengan Garil serta ibunya Endang Isnanik, Hendra menyampaikan permintaan maaf atas tindakan ayahnya yang menurutnya ikut ia "tanggung sebagai beban".

Baca Juga: Unggah Hasil USG Hingga Dikabarkan Hamil Duluan Padahal Baru Lamaran, Artis Cantik Ini Malah Tuai Dukungan, Terungkap Fakta Mengejutkan di Baliknya

"Ibu dan Garil, saya anak dari pelaku Bom Bali 1, saya minta maaf yang sebesar-besarnya, mewakili keluarga.

Saya juga korban, adik korban, cuma bedanya, ayah saya terlibat di kejadian itu," kata Hendra mengawali pertemuannya.

Ia menyebut dirinya juga sebagai "korban" karena tidak mengetahui apa-apa terkait rencana dan tindakan bapaknya dalam tindak terorisme itu.

"Jujur, saya juga sebagai korban, saya gak tau apa-apa. Saya diacuhkan sama orang-orang, gak dianggap sama orang.

Pontang panting di jalan.

Cari kerja juga gak bisa.

Saya juga korban.

Mungkin itu jalannya.

Saya ambil positifnya," tambahnya lagi dalam pertemuan di Sedayu, Lamongan, Jawa Timur, daerah tempat Hendra bekerja saat itu.

Baca Juga: Perceraiannya Sempat Disayangkan oleh Istri Pertama, Meggy Malah Berikan Sindiran Pedas untuk Rohimah, Singgung Masa Lalu

Ia mengaku jarang bertemu dengan ayahnya karena kedua orang tuanya berpisah saat Hendra masih bayi.

Tetapi begitu mengetahui ayahnya ditangkap dan dieksekusi enam tahun kemudian--pada November 2008-- reaksinya "sempat marah kepada negara" karena mengeksekusi ayahnya.

"Sudah kacau pikiran saat itu.

Setelah lihat jenazah dibuka.

Saya down.

Emosi memuncak," katanya.

Ditambah lagi dengan sulitnya dia mencari nafkah dengan cap yang lekat padanya sebagai anak pelaku pengeboman.

Ia mengatakan sempat bertemu ayahnya di Nusakambangan beberapa kali sebelum dieksekusi dengan perasaan yang "campur aduk" saat itu, antara percaya dan tidak percaya di tengah "emosi jiwa muda."

Di tengah emosi yang cukup tinggi dan "rasa dendam", kata Hendra, ia sempat "mau meneruskan apa yang dilakukan bapak" dengan belajar membuat senjata dan sempat meminta pamannya, Ali Fauzi, untuk mengajarinya membuat bom.

Baca Juga: Bagai Petir di Siang Bolong, Mahathir Mohamad Tiba-tiba Mundur dari Jabatan Perdana Menteri Malaysia, Bukannya Senang Sosok Ini Justru Kecewa karena Merasa Dikhianati

Namun permintaan itu ditolak.

Dua pamannya yang lain, Ali Gufron alias Mukhlas dan Ali Imron, juga terlibat Bom Bali 1.

Ali Gufron dieksekusi bersamaan dengan Amrozi sementara Ali Imron dijatuhi hukuman seumur hidup karena menyatakan penyesalan.

"Saya sempat gak mau hormat sama bendera, baru tahun 2017, baru saya bisa sadar" setelah momen melihat anaknya tidur, katanya.

Ia kemudian mengontak pamannya, Ali Fauzi, dan berjanji untuk berubah.

Bersama Ali Fauzi yang memimpin Lingkar Perdamaian - organisasi yang dibentuk untuk program deradikalisasi termasuk untuk para mantan narapidana terorisme - Hendra juga ikut aktif mengajak anak-anak muda yang disebutnya terpapar radikalisme.

"Teman-teman yang masih (radikal), kita rangkul, kita bareng-bareng… nggak cuma dari napi teroris tapi juga dari preman-preman kita ajak bekerja, yang penting ada aktivitas, lepas dari pemikiran (radikal)," ceritanya.

Baca Juga: Buka Tabir di Balik Lagu 'Cinta Kan Membawamu', Ahmad Dhani Berhasil Buat Maia Estianty Tersipu Malu

"Saya berharap ke negara, kasih kesempatan saya untuk memperbaiki diri, dan teman-teman semua supaya ada aktivitas."

Hendra tampak bersemangat ketika bercerita tentang apa yang dilakukannya bersama pamannya, Ali Fauzi, termasuk menjemput narapidana terorisme yang telah dibebaskan.

"Kita ambil teman yang masih di penjara, main cepat-cepatan, kalau gak gitu diambil sama grupnya yang dulu… Lepas dari lapas kita ambil.

Kita kumpulkan keluhannya apa, pekerjaannya apa, saya mencarikan, sedikit banyak.

Saya dan teman-teman yang cari dana," katanya bersemangat kepada Garil, putra korban Bom Bali 1 serta ibunya.

"Ini bukan masalah agama, dan pelajaran-pelajaran yang radikal, bukan, tapi aktivitas dan kebutuhan (ekonomi), itu faktor utama."

Ia menutup ceritanya dan menyatakan harapannya jangan sampai ada korban-korban lain baik dari korban atau pelaku, seperti yang dia alami.

Baca Juga: Mantap Nikahi Duda Kaya Raya yang 18 Tahun Lebih Tua darinya, Mantan Raffi Ahmad Ini Kini Hidup Bahagia di Rumah Supermewah, Sempat Dituduh sebagai Pelakor tapi Cuek Saja

"Saya sudah berubah…cukup kita yang merasakan, cukup kita yang menjadi korban, dan kita memilih jalan yang lebih baik.

Saya terbebani dengan kesalahan bapak saya, saya juga terbebani sebagai korban," tutupnya.

Anak pelaku Bom Bali 1 dan anak korban Bom Bali 1 bertukar cerita - kisah kesulitan yang serupa - termasuk merasakan trauma dan depresi.

"Dulu anaknya tersangka, saya kira, tak separah ini.

Ternyata mereka juga mengalami hal yang saya alami.

Saya bersyukur mas Hendra sadar yang dilakukan almarhum bapaknya salah dan tahu kemana arah yang lebih baik," kata Garil kepada Hendra di akhir pertemuan mereka.

Baca Juga: Habis Reuni dengan Mantan Suami di Indonesia Idol, Tengah Malam Tanpa Pikir Panjang Maia Estianty Langsung Datangi Tempat Ini: Dibelain Walau Kudu Jam 2 Pagi

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Kisah Putra Pelaku Bom Bali I, Bertahun-tahun Merasa Seperti "Sampah", Nyaris Ikuti Jejak Sang Ayah

Editor : Rahma Imanina Hasfi

Baca Lainnya