Suar.ID – Tsunami yang menerjang daerah di pesisir Selat Sunda, Sabtu (22/12/2018) lalu, menyisakan banyak cerita.
Cerita bertahan hidup dari para korban selamat, hingga kesedihan mereka yang ditinggalkan orang terkasihnya.
Semua hal yang berkaitan dengan kisah-kisah sedih dari para korban menarik simpati dari masyarakat.
Pemberitaan yang paling banyak mendapat perhatian pun adalah tentang duka lara setelah bencana, seperti jumlah korban, dampak bencana, hingga siapa saja korbannya.
Baca Juga : Dulu Artis Tik Tok, Seperti Ini Potret Terbaru Bowo Alpenliebe yang Sekarang Jadi Pemain Sinetron!
Sementara informasi pembelajaran apa yang bisa diambil dari peristiwa tersebut kurang mendapat perhatian.
Masyarakat cenderung lebih suka dengan berita duka.
Bahkan di antara duka lara tersebut, muncul juga fenomena orang 'Selfie' di lokasi bencana.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Menurut Listyo Yuwono, pakar psikologi kebencanaan seperti dikutip dari Kompas.com, masyarakat yang cenderung lebih tertarik degan berita duka adalah hal yang lumrah.
Apalagi jika bencana tersebut terjadi dalam skala yang besar.
Meski begitu, Listyo menyoroti pentingnya masyarakat mengambil pelajaran tentang bencana yang terjadi.
"Fenomena yang banyak terjadi masyarakat lebih berfokus pada dampak atau duka laranya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat kita masih bersifat reaktif daripada proaktif mencegah terjadinya risiko bencana," ungkap Listyo kepada Kompas.com, Rabu (26/12/2018).
"Kesadaran akan potensi bencana dan pengenalan mitigasi bencana yang sesuai dengan ancaman bencana yang dapat dialami di daerahnya masih tergolong rendah," imbuhnya.
Baca Juga : Hati-hati dengan Grup WhatsApp Reuni Sekolah Dulu, Bisa Jadi Celah untuk Mulai Perselingkuhan
Ia menambahkan, masyarakat yang tidak terkena bencana masih memiliki keyakinan bahwa bencana yang terjadi di daerah lain tidak akan terjadi di daerahnya.
"Banyak masyarakat yang tidak mengetahui potensi bencana di daerahnya dan tidak mengikuti informasi terbaru pemetaan potensi bencana," ujar Listyo.
"Masyarakat juga masih belum menyadari sebagai agen pendidikan bencana sehingga meletakkan tanggungjawab penanganan bencana kepada pemerintah ataupun organisasi penanganan bencana," sambungnya.
Selain itu, peran media juga berpengaruh membuat masyarakat Indonesia masih reaktif menanggapi bencana.
" Bencana yang terjadi dalam skala besar selalu diliput dan menjadi fokus atau trending topic media," kata Listyo.
"Media selama ini lebih banyak menginformasikan atau memberitakan tentang proses kejadian bencana dan dampaknya sehingga masyarakat fokus pada duka lara dibandingkan edukasi pembelajaran bencana," imbuhnya.
Untuk itu, menurut dosen psikologi di Universitas Surabaya tersebut, media seharusnya punya peran ideal sebagai sarana memberi informasi terkait bencana, dampak dan edukasi mitigasi bencana untuk pengurangan risiko bencana.
Lain lagi dengan fenomena 'selfie' di lokasi bencana.
Beberapa waktu lalu juga ramai masyarakat yang tertangkap kamera tengah mengambil swafoto bersama dengan rekan lainnya di lokasi bencana tsunami yang masih porak-poranda.
Kejadian tersebut bahkan diberitakan oleh sebuah media internasional asal Inggris, The Guardian, dengan mengangkat judul “Disaster gets more likes: Indonesia’s tsunami selfie-seekers”.
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Prof Drs Koentjoro MBSc PhD mengemukakan pendapatnya.
Seperti dikutip dari Kompas.com, Koentjoro mengatakan, selfie telah mengubah perilaku manusia.
Masyarakat, menurut dia, tidak lagi terlalu memedulikan kondisi sekitar, karena yang terpenting bagi mereka adalah mendapatkan momen yang mungkin tidak akan mereka temui untuk kedua kalinya.
Momen menjadi penting. Setiap kali ada momen orang selfie. Bahkan momen itu dicari dan diciptakan, sehingga nyawa menjadi taruhannya," kata Koentjoro.
Kawasan Banten yang berdekatan dengan Selat Sunda hingga saat ini masih belum aman untuk dikunjungi. Bahkan, masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut diimbau untuk ada di radius aman yang telah ditentukan.
Terlebih, saat ini status Gunung Anak Krakatau sudah ada di level Siaga III. Hal ini menunjukkan betapa wilayah terdampak kemarin tidak semestinya dijadikan destinasi kunjungan untuk mengambil gambar diri.
Munculnya fenomena-fenomena yang terkesan menggambarkan sikap antipati ini memang baru muncul belakangan ini, setelah gadget dan media sosial begitu dekat dengan kehidupan manusia.
Baca Juga : Buruan Ditukar! Hari Ini Batas Terakhir Tukar Uang Kertas Rupiah Keluaran 1998 dan 1999, Jangan Sampai Rugi!