Krisis tersebut terjadi pada pertengahan 2006 hingga 2007, semua berawal dari perkara yang cukup sepele, yaitu masalah pangan.
Pemeritah Timor Leste, dipandang gagal menyediakan beras bagi rakyat Timor Leste, sehingga memicu gelombang kekerasan.
Penduduk Dili yang marah berusaha menjarah 700 ton beras di gundang di ibu kota Dili.
Penangkapan Alfredo Reinado ditambah kekurangan beras, memicu babak baru kekerasan di Dili.
Penduduk Dili dan anggota partai oposisi menuduh pemerintah menahan beras dari pasar.
Dengan rencana menggunakan distribusi beras sebagai alat untuk mengamankan kemenangan Fretilin dalam pemilihan mendatang.
Mantan Perdana Menteri Mari Alkatiri, yang diturunkan jabatannya pada Juni 2006, menyatakan bahwa krisis beras adalah konspirasi yang dimaksudkan untuk melumpuhkan pemerintah yang didominasi Fretilin.
Anggota komunitas bisnis menyalahkan krisis pada kekurangan di pasar internasional.
Mereka menjelaskan bahwa Timor Leste adalah prioritas rendah bagi pemasok beras regional yang Memilih untuk memenuhi pesanan dalam jumlah besar baik dari Indonesia dan Filipina, di mana harga telah melonjak selama dua tahun terakhir.
Timor tidak asing dengan kerawanan pangan. Periode menjelang dimulainya musim hujan dikenal sebagai "musim lapar".
Dalam menghadapi hal ini, orang Timor mengandalkan kombinasi beras, jagung, umbi-umbian.