Suar.ID -Bloomberg baru saja merilis Bloomberg Billionaires Index (BBI).
BBI merupakan peringrkat harian orang terkaya di dunia, termasuk orang terkaya di Indonesia.
Salah satu yang disebut dalam indeks tersebut adalah penurunan harga orang terkaya di Indonesia: Budi Hartono.
Ada indikasi, penurunan harta itu dikarena mewabahnya virus corona alias Covid-19.
Baca Juga: Banyak yang Salah Kira, Hartono Mall Ternyata Bukan Milik Bos Djarum, tapi Milik Pengusaha Solo Ini
Tak hanya menyerang manusia, wabah virus corona juga membuat bursa saham tersungkur jatuh.
Hal tersebut diyakini membuat kekayaan para konglomerat di dunia ikut menurun.
Kekayaan para taipan Indonesia juga ikut lenyap, bahkan mencapai triliunan rupiah.
Salah satu taipan yang kehilangan kekayaan tersebut adalah Budi Hartono, pemilik Grup Djarum.
Menurut data Bloomberg per Selasa (17/3), kekayaan Budi Hartono Pemilik Grup Djarum lenyap hingga 4,7 miliar dolar AS atau setara Rp 71,3 triliun (kurs Rp 15.174 per dolar AS).
Dengan adanya pengurangan itu, harta Hartono saat ini "tinggal" 12,4 miliar dolar AS atau setara Rp188,1 triliun.
Data berkurangnya kekayaan Budi adalah data secara year to date atau sejak awal tahun 2020 hingga hari ini menurut pantauan Bloomberg Billionaires Index.
Pada 9 Maret 2020 kekayaan Budi Hartono masih mencapai 15,3 miliar dolar AS atau setara kira-kira Rp232,1 triliun.
Sementara Prajogo Pangestu yang sempat tertera dalam daftar konglomerat di dunia menurut versi Bloomberg kini sudah tidak ada lagi di daftar.
Demikian pula dengan Michael Hartono, Tan Siok Tjien Pendiri Gudang Garam, dan Prakash Lohia pemilik Indorama.
Merek Itu Bernama Djarum
Adalah Nitisemito, pengusaha yang disebut Presiden Soekarno dalam pidato di awal kemerdekaan RI.
Nama aslinya Rusdi, kemudian diubah menjadi lebih Jawa, Nitisemito.
Dia sudah menjadi salah satu konglomerat sebelum Indonesia merdeka.
Nitisemito adalah pemilik pabrik rokok terbesar di zamannya.
Dikendalikan dari Kudus, pabrik rokok Nitisemito mampu mempekerjakan 10 ribu karyawan.
Dikutip dari Kompas.com, merek rokok yang diproduksi pabriknya adalah Tjap Kodok Mangan Ulo, Tjap Soempil, dan Tjap Djeroek.
Sebelum disatukan dalam merek Tjap Bal Tiga.
Setelah kematian Nitisemito tahun 1953, rokok Tjap Bal Tiga mulai redup.
Untuk kemudian hilang digilas jaman.
Sejarah mencatat, hilangnya pabrik rokok Tjap Bal Tiga, justru pada sisi lain terjadi pertumbuhan pesat perusahaan rokok.
Terutama di daerah Jawa Tengah (Kudus) dan Jawa Timur (Surabaya, Malang, Kediri).
Pada awal mula perusahaan rokok itu – seperti juga dengan pabrik rokok milik Nitisemito - tidak fokus pada merek.
Merek diambil ala kadarnya.
Karena mayoritas berasal dari Jateng dan Jatim, merek-mereknya sangat lokal dari daerah itu.
Seperti misal Djarum, Gudang Garam, Bentoel, Sampoerna, Sukun, Minak Djinggo, Jambu Bol, Pompa, Kerbau, dan Sintren.
Perusahaan rokok – dan juga perusahaan lain di Indonesia – pada awal mula hanya fokus pada dua hal: produk dan produksi.
Produk berkaitan dengan barang yang dihasilkan.
Untuk konteks rokok, maka produk yang dihasilkan mayoritas adalah rokok kretek.
Hal demikian selaras dengan produk dari pabrik Tjap Bal Tiga yang mana Nitisemito bersama istrinya sebagai penemu rokok kretek.
Pabrik-pabrik rokok tersebut menjaga kualitas yang dihasilkan agar rokok tetap dikonsumsi pelanggannya.
Pun dengan rokok yang berkualitas, akan mudah untuk mendapatkan pelanggan baru.
Produksi berkelindan dengan keberlangsungan produk rokok yang dihasilkan.
Intinya perusahaan menjaga agar proses pembuatan rokok berkelanjutan sehingga stok rokok di pasar tidak pernah kosong.
Pun jika terjadi lonjakan permintaan, proses produksi pada setiap pabrik terjamin.
Gabungan antara produk yang berkualitas dan produksi yang berkesinambungan menjadikan pabrik rokok dapat menciptakan varian-varian baru.
Lalu terjadi perubahan zaman.
Terjadi pula perubahan perilaku konsumen.
Ditambah dengan persaingan antar produk rokok yang semakin sengit.
Tidak hanya antar perusahaan lokal, namun juga rokok impor gencar masuk ke pasar Indonesia.
Produk dan produksi tidak cukup.
Perlu yang namanya merek.
Produk dan produksi adalah tubuh, merek adalah roh.
Maka perusahaan-perusahaan rokok ini mulai me-rebranding mereknya.
Nama tetap sama.
Hanya perlu dipermak di sana-sini agar nama itu menjadi merek yang seksi.
Jika mengeluarkan produk baru, tidak sekedar bertumpu pada merek lama, namun juga dimunculkan merek baru yang berorientasi nasional (global).
Lahirlah merek seperti AMild, Star Mild, Class, LA Light, U Mild, Pro Mild, Diplomat.
Konsumen tidak sekedar memilih produk rokoknya.
Terlebih pada konsumen rokok pemula.
Mereka mengonsumsi lebih pada merek rokok tersebut.
Apalagi citarasa rokok-rokok keluaran terbaru nyaris sama.
Yang membedakan hanya mereknya saja.
Alhasil perusahaan-perusahaan rokok pada strategi pemasarannya lebih mengedepankan merek untuk dijual, ketimbang produk yang diproduksi.
Merek menjadi aset utama perusahaan.
Menggenapi jumlah pabrik yang dimiliki ataupun karyawan yang dipekerjakan.
(Tribunnewswiki.com/Putradi Pamungkas, Kompas.com/Azis Husaini)
Artikel ini sudah tayang di Tribun Wiki dengan judul Gara-gara Virus Corona, Harta Kekayaan Bos Djarum Budi Hartono Lenyap Rp 71,3 Triliun