Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Jadi Staf Khusus Presiden Jokowi untuk ke-2 Kalinya, Ayah Sosok Ini Ternyata Bukan Orang Sembarangan, Tangguh di Pertempuran Jarak Dekat dan Siap Kehilangan Nyawa Demi Negara

Moh. Habib Asyhad - Jumat, 22 November 2019 | 15:45
Diaz Hendropriyono
Instagram/@diaz.hendropriyono

Diaz Hendropriyono

Suar.ID -Kamis (21/11) kemarin, Presiden Jokowi baru saja mengumumkan 7 staf khusus presiden.

Satu di antara mereka adalah Diaz Hendropriyono.

Pria bernama lengkap Diaz Faisal Malik Hendropriyono rupanya terpilih untuk kedua kalinya menjadi staf khusus Presiden.

Diaz Hendropriyono sudah menjabat sebagai staf khusus Presiden periode 2014-2019.

Bagaimanapun juga, Diaz bukanlah sosok sembarangan.

Di usianya yang masih muda, Diaz Hendropriyono menduduki posisi tertinggi di partai politik.

Pria kelahiran Jakarta, 25 September 1978 ini menjadi ketua umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Ia menggantikan sang ayah AM Hendropriyono yang merupakan Jenderal TNI sekaligus mantan Kepala BIN.

Diaz Hendropriyono sudah aktif menjadi politikus muda dalam kampanye Pilpres 2014.

AM Hendropriyono
Tribunnews

AM Hendropriyono

Berbicara tentang Diaz, rasanya tak lengkap kalau tidak menyertakan AM Hendropriyono.

Hendropriyono merupakan prajurit yang sangat melegenda bahkan dirinya juga menjadi kepala BIN pertama.

Selama kariernya di dunia militer, Hendropriyono mengikuti beberapa operasi yang membuat namanya melejit.

Salah satu operasinya yang terkenal adalah Operasi Penumpasan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS).

Hendropriyono setidaknya terlibat dalam operasi penumpasan pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) yang terbentuk di masa konfrontasi Ganyang Malaysia (1963-1966) oleh intelijen Indonesia pada era Presiden Soekarno.

Dalam buku Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran, Sejak Nusantara Sampai Indonesia (2014) karya Iwan Santosa, Hendropriyono menceritakan pengalamannya tersebut.

"Karena PGRS tidak menyerah, terpaksa kami sebagai guru harus menghadapi murid dengan bertempur di hutan rimba Kalimantan," ujar Hendropriyono.

Pada awalnya, sekitar tahun 1960, rezim Orde Lama di bawah pimpinan Presiden Soekarno bersama Presiden Filipina Diosdado Macapagal mengkritik pembentukan Malaysia yang dianggap permainan neo-kolonialisme Inggris.

Saat itu, Macapagal sempat menyarankan pembentukan Maphilindo, sejenis federasi Malaysia, Filipina, dan Indonesia.

Sebab, Macapagal menilai ada kesamaan kultural Melayu di tiga negara ini.

Namun, Soekarno lebih memilih berkonfrontasi langsung dalam perang tidak resmi menghadapi Malaysia dan Persemakmuran Inggris.

Hingga akhirnya terjadilah perang sengit di tengah rimbanya Kalimantan.

Setelah peristiwa Mangkok Merah pada tahun 1967, Hendropriyono mendapat tugas untuk melawan bekas sekutu TNI.

Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa yang merupakan kakak ipar Diaz Hendropriyono.

Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa yang merupakan kakak ipar Diaz Hendropriyono.

Kemudian, terbentuklah Sandi Yudha, satuan intelijen tempur dari Resimen Para Komando Angkatan Darat, yang saat ini dikenal sebagai Komando Pasukan Khusus (Kopassus).

Anggota PGRS sendiri diketahui merupakan pemuda Tionghoa namun ada beberapa dari suku Dayak, Melayu, Jawa dan lainnya.

Hendropriyono yang memimpin unit berisi 8 orang mendekat ke arah gubuk Hassan yang merupakan komandan PGRS.

Peristiwa tersebut dilaporkan terjadi secara senyap dalam semalam.

Di sini ketangguhan pasukan tersebut terbukti.

Salah satu anggota Sandi Yudha berhasil menggugurkan penjaga gubuk yang bersenjatakan api dengan sangkur atau pisau yang ada di senapan.

Hendropriyono yang berhasil bertatap muka dengan Hassan justru mendapatkan perlawanan.

Pertempuran jarak dekat satu lawan satu pun tak terelakkan.

Dalam pertarungan tersebut, Hendropriyono mengalami luka dibagian paha dan jarinya akibat sangkur milik Hassan.

Namun pertempuran tersebut berhasil dimenangkan Hendropriyono.

Hendropriyono dan pasukannya juga berusaha sebisa mungkin membujuk hati musuh agar bersimpati ke Indonesia.

"Kita tidak pernah tahu kapan jadi kawan dan situasi berubah lalu jadi lawan. Bertempurlah dengan ksatria. Jangan menyiksa lawan. Itu sifat prajurit Sandi Yudha," ujar Hendropriyono saat peluncuran buku Operasi Sandi Yudha Menumpas Gerakan Klandestin.

Editor : Suar

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

Popular

Hot Topic

Tag Popular

x